REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Konflik yang terjadi di Sampang, Madura bukanlah perselisihan antara Sunni dan Syiah. Persoalan tersebut ditengarai merupakan masalah konflik keluarga.
"Sebenarnya masalah ini konflik keluarga bukan Sunni-Syiah. Buktinya di Jawa Barat di Jawa Tengah, tidak terjadi (konflik) Sunni-Syiah apalagi NU-Syiah," ujar Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, di Kantor Pusat PBNU, Jakarta, Selasa (3/1).
Menurut Said perkara ini dipicu oleh persaingan antar saudara atau keluarga. Bisa dalam bentuk perebutan pengaruh, santri, pesantren ataupun wakaf. Bahkan kemungkinan besar konflik itu ada yang memprovokasi sehingga dapat menyebar dengan cepat. "Jadi tolong dipahami mari lokalisir ini menjadi sebatas konflik keluarga," katanya menegaskan.
Pecahnya konflik itu sebenarnya sudah pernah hampir terjadi dua tahun silam. Namun bisa dicegah sehingga tidak sampai menimbulkan kericuhan. Sekarang karena ada yang menumpang, memanfaatkan isu Sunni-Syiah peristiwa aksi penyerangan itu terjadi.
Sebagiamana diketahui Kompleks Pesantren Islam Syiah yang berada di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, dibakar massa beberapa waktu lalu.
Lokasi pesantren ini sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Sampang, atau lebih dari 100 km dari Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Saat itu ratusan orang dari berbagai desa di Kecamatan Omben, dan tetangganya, Karang Penang, datang menyerbu ke pusat Islam Syiah di Madura tersebut.
PBNU, kata Said, menyayangkan dan mengecam aksi tindakan itu. Apalagi peristiwa itu terjadi disaat dunia Islam kini tengah membutuhkan persatuan. Disaat kondisi dalam negeri tengah krisis moral dan persatuan. Tentunya ini merupakan suatu tantangan agar semua pihak dapat lebih dewasa.
"Dibutuhkan ukhuwah Islamiyah lintas mahzab, aliran, politik, etnik. Namanya umat Islam harus bersatu ketika menghadapi tantangan dan problenm dari pihak luar. Jangan ada disintegrasi," tegasnya.
Sejak awal konflik itu pecah, PBNU telah berkoordinasi langsung dengan pemerintah setempat, baik itu Gubernur dan Wakil Gubernur. Pemerintah daerah berjanji akan menyelesaikan persoalan itu sehingga tidak sampai menyebar ke daerah lain.
Soal perbedaan pandangan antara Syiah maupun Sunni, Said berharap dapat saling menghargai. Sejak awal mula sejarah Islam, Syiah itu telah ada. Bahkan ketika paham itu datang ke Indonesia, pendiri NU Hasyim Ashari tidak pernah menyinggungnya.
Presiden Iran Ahmadinejad yang juga pengikut Syiah pun pernah datang ke kantor PBNU. "Beda pasti ada dong, Antara Sunni dan Syiah. Tapi tidak mesti harus saling benci dan bermusuhan," tuturnya.
Dalam memberikan keterangan pers itu, turut hadir Wakil Ketua Umum PBNU As'ad Said Ali, Ketua PBNU Arvin hakim toha, dan Bendahara PBNU. Ing.H. Bina Suhendra.