REPUBLIKA.CO.ID, Masih ingat Amina Wadud? Itu tuh, wanita liberal yang menciptakan sensasi pada 2005 dengan menjadi imam shalat Jumat di gereja Katedral di AS. Yang nyeleneh lagi, makmum yang ikut-ikutan shalat di belakangnya tidak hanya kaum perempuan, tapi banyak juga yang laki-laki. Tentu saja ibadah shalat dengan makmum campur-aduk alias gado-gado ini menimbulkan kecaman dunia Islam.
Tak cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, tokoh kebanggaan kaum liberal yang juga profesor studi Islam di Virginia Commonwealth University ini, kembali berulah. Wadud didapuk sebagai imam shalat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford, Inggris pada 2008. Juga dengan makmum campur-aduk, laki-laki dan perempuan. Hebatnya lagi, bak khatib Jumat beneran, si Wadud juga memberikan khutbah singkat sebelum shalat dua rakaat.
Beragam kecaman dari ulama-ulama Islam dunia menampar muka Wadud, namun ia tak ambil pusing. Untuk menjaga agar kejadian nyeleneh ala Amina ini tidak terjadi di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera mengeluarkan fatwa.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.
Hal ini, menurut MUI, perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum wanita menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.
MUI mendasarkan fatwanya pada Kitabullah, sunnah Rasulullah SAW, ijma' ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.
Firman Allah SWT antara lain: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)..." (QS An-Nisaa': 34)
Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
"Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)
Rasulullah bersabda, “Saf (barisan dalam shalat berjamaah) terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan).”
Rasulullah bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (keledai).” (HR Muslim)
Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)
Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. "Para sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah," jelas MUI seraya mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya Al-Mubarakfuri.
Dan berdasarkan kaidah fiqh: “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah).
"Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya wanita dan makmumnya laki-laki," kata MUI.
Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. "Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.