Oleh: Hannan Putra
Jika ingin menilai model pendidikan pesantren, menurut Gus Sholah, jangan hanya melihat sistem yang klasik dan dianggap sederhana.
Tapi, lihatlah alumni pesantren yang terbukti bisa menjadi tokoh-tokoh pioner perubahan di masyarakat. Alumni pesantren terbukti bisa menciptakan hal-hal positif, membawa perubahan, dan setidaknya jarang yang menjadi orang jahat atau sampah masyarakat.
Demikian pula dengan karakter santri yang dikenal santun dan berakhlak mulia. “Santri tidak ada yang namanya tawuran, bullying, narkoba, dan kenakalan remaja,” paparnya.
Pondok pesantren juga merupakan institusi yang telah memberikan sumbangan besar bagi pemeliharaan tata nilai dan perikehidupan beragama yang sangat dibutuhkan dalam bangunan sosial agama.
Posisi demikian disebabkan kemampuan pesantren menciptakan suatu sikap hidup universal yang merata, kemampuan memelihara subkulturnya sendiri, serta cara pandang santri dalam menilai lingkungan sosialnya yang memperlihatkan fleksibilitas di tengah ketatnya kaidah fikih yang diyakininya.
Gus Sholah mengatakan, pendidikan pesantren yang umumnya hanya sampai tingkat SLTA memungkinkan para santri rentan terkikis label kesantriannya. “Bekal yang ia peroleh di pesantren hanya enam tahun. Setelah di perguruan tinggi, bisa jadi apa yang dia peroleh di pesantren itu hilang atau jauh berkurang,” terangnya.
“Sehingga, santri yang di selama di pesantren itu baik, setelah masuk perguruan tinggi dan kemudian masuk pegawai negeri belum tentu juga mereka tidak korupsi. Tergantung sejauh mana dia memegang teguh apa yang ia dapat di pesantren,” tambahnya.
Menurut Gus Sholah, inilah yang dipesankan betul pendiri Ponpes Tebuireng Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari. Pesannya, santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumahnya bisa menerapkan ilmu yang dipelajari di pesantren.
Apa yang didapatkannya di pesantren tidak hanya sebatas ilmu agama. Tapi, karakter seperti kemandirian, sopan santun, dan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara baik tetap harus dipelihara.