Rabu 12 Nov 2014 12:10 WIB

Masjid Arif Rahman Hakim, Masjid Perjuangan Tritura (1)

Masjid Kampus Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta.
Foto: Telukmasjid.com
Masjid Kampus Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta.

Oleh: Amri Amrullah      

Masjid Kampus Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, diam-diam beberapa tahun terakhir tampil dengan wajah berbeda.

Sebuah pembaruan pada rumah ibadah yang didirikan untuk mengenang sejarah terjadinya peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) 1966.

Aksi Tritura yang timbul atas reaksi kondisi politik dan ekonomi Orde Lama pada saat itu membuat seorang mahasiswa, Arif Rahman Hakim, meninggal dunia. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah masjid yang dibangun pada 16 Agustus 1969 di pekarangan fakultas kedokteran, tempat berkumpulnya para mahasiswa sebelum pecah peristiwa tersebut.

Masjid Arif Rahman Hakim (ARH) saat ini telah mengalami renovasi dan pembangunan pada 2010 dari bangunan aslinya. Model arsitektur yang melengkapi pun lebih terkesan modern dan dinamis.

Ketua Umum Pengurus Harian Masjid Arif Rahman Hakim, Rapi'i, mengungkapkan, renovasi dan pembangunan masjid ini karena kebutuhan menampung jamaah yang jumlahnya terus meningkat. Pada saat masjid pertama yang dibangun pada 1967 itu hanya memiliki satu lantai yang dipergunakan untuk shalat.

Seiring perkembangan zaman, wilayah Salemba dan sekitarnya merupakan wilayah yang sangat strategis. "Di sini terdapat kantor pemerintahan, pasar, dan kampus yang mana bila shalat Jumat semua menuju masjid ini," ujarnya. Dan, dengan jumlah jamaah yang begitu banyak, masjid ini tidak bisa menampung seluruh jamaah. Terutama, pada hari Jumat.

Pada bangunan Masjid ARH yang pertama, model desain arsitektur disayembarakan dan terpilih Prof Gunawan Tjahjono yang saat ini menjadi guru besar arsitektur UI.

Model desain arsitektur masjid pada saat itu memang tidak ubahnya bangunan masjid pada umumnya. Namun, ketika proses renovasi dan pembangunan dilakukan pada Desember 2009, sang arsitek sebelumnya meminta agar bangunan lama tidak dibongkar. Alhasil, bangunan masjid yang asli tetap dipertahankan sebagai lantai pertama bangunan masjid.

"Bangunan masjid baru mengangkangi bangunan masjid lama, jadi di lantai pertama itulah bagian dari bangunan lama," ungkap Rapi'i. Alasan bangunan lama tidak dibongkar karena pihaknya ingin mempertahankan ciri khas masjid ini sejak awal. Yakni, pintu masuk masjid yang tidak sejajar dengan kiblat.

"Orang kalau bangun masjid biasanya pintu masuk, langsung menghadap kiblat. Tapi, di Masjid ARH ini, sejak awal berdiri pintu masuk menyamping atau kiblat 45 derajat dari jalan," ungkapnya.

Pembangunan masjid baru dirancang sejak 2006 dengan menelan biaya pembangunan yang cukup besar, Rp 16,3 miliar.

Ia menjelaskan, sumbangan dana sebagian besar didapat dari Kerajaan Saudi dengan jumlah Rp 13 miliar, Pemerintah DKI Jakarta Rp 1 miliar, Rektorat UI Rp 1 miliar, dan sumbangan masyarakat Rp 1,3 miliar. Dosen jurusan Arsitektur UI, Azrar Hadi, pun dipercaya sebagai arsitek yang merancang bangunan Masjid ARH yang baru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement