Oleh: Ina Salma Febriany
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan dan kesulitan ekonomi tak jarang membuat seseorang merasa buntu dan kehilangan arah untuk menemukan jalan keluar. Hingga pada sampai di titik kesulitan materi yang teramat sangat, akhirnya banyak diantara kita yang memilih untuk berutang kepada sesama. Tidak salah memang.
Berhutang diperbolehkkan dalam Islam, bahkan karena tak menghendaki adanya orang yang dirugikan karena praktik hutang piutang, Allah merumuskan adab-adab berutang yang tertuang dalam penghujung surah al-Baqarah ayat 282 bahwa setiap praktik hutang piutang harus dicatat dan disaksikan.
Pencatatan dan persaksian atas transaksi utang piutang dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan dan permusuhan yang akan sangat mungkin terjadi. Dengan pencatatan dan persaksian pula, pengutang ingat kembali jumlah utang yang harus ia bayar jika suatu waktu ia lupa. Namun bagaimana, jika yang berutang tidak mampu atau bahkan fenomena yang sering terjadi adalah justeru yang berhutang lebih kasar dan kejam daripada si pemberi hutang?
Karenanya, diperlukan kelapangan hati dan jiwa ketika kita memutuskan untuk memberikan pinjaman kepada orang lain. Pemberi utang juga harus mengetahui betul apakah yang diutangi betul-betul belum mampu membayar, pura-pura tidak mampu atau bahkan tak ada niat untuk melunasi utangnya. Terkait menghadapi orang yang tidak mampu membayar, maka Alquran menganjurkan kita untuk memberi kelapangan.
“Dan jika dia (penghutang) memiliki kesukaran maka berilah penangguhan sampai waktu lapang (mampu membayarnya), dan apabila kalian menyedekahkannya maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui,” (Qs Al-Baqarah: 280)
Begitu santunnya anjuran Alquran dalam memberikan pedoman utang-piutang. Selain si pemberi utang dianjurkan untuk memberikan kelapangan (maysarah—kelonggaran waktu atau kesempatan untuk membayar), pemberi hutang juga harus siap jika pada akhirnya harus menyedekahkan uang yang dipinjamnya ketika yang berhutang, akhirnya tidak sanggup membayarnya.
Pertanyaannya; sudah sanggupkah kita mengikuti tuntunan Alquran? Andai saja kita memiliki uang 10 juta lalu dipinjamkan kepada 10 orang dan kesemuanya itu tidak mampu membayar utangnya, mampukah kita ikhlas?
Ketika Hudzaifah dan Abu Mas’ud ra sedang berkumpul, Hudzaifah ra berkata, “Ada seorang laki-laki yang meninggal dan menemui Tuhannya, maka Tuhannya berkata kepadanya, “Apa yang telah kamu perbuat?” Dia menjawab, “Aku belum pernah berbuat kebaikan, melainkan dahulu aku adalah seseorang yang memiliki harta benda. Dengan harta yang kupunya itulah aku biasa memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, lalu aku sering memberikan kemudahan dalam pembayaran. Apabila seseorang tidak mampu membayarnya, maka aku membebaskan hutang tersebut,” Maka Allah Swt berfirman, “Berilah kelapangan kepadanya,” Abu Mas’ud berkata, seperti itulah aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,” (HR Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, No Hadits 1560)
Demikianlah, tidak ada satu perbuatanpun yang luput dari penjagaan Allah. Berapapun nominal yang telah kita keluarkan (pinjamkan) dengan ikhlas, semua itu pasti akan terbalas. Cukup balasan di akhirat sajalah segala amal kebaikan orang-orang baik itu diberikan.
Allahu a’lam