Rabu 19 Nov 2025 17:55 WIB

Berapa Nilai Nafkah yang Wajib Diberikan Suami? Ini Penjelasan Para Ulama

Nafkah merupakan kewajiban pokok seorang suami.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Nafkah Istri
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Nafkah Istri

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pernikahan kerap dipersiapkan dengan matang, dari gedung, katering, dekorasi hingga hiburan. Namun satu hal yang justru jarang dibahas caln pasangan suami istri adalah nilai nafkah. Padahal nafkah merupakan kewajiban pokok seorang suami sekaligus hak dasar seorang istri. KH Ahmad Sarwat Lc menyoroti bagaimana syariat Islam menegaskan kewajiban suam memberi nafkah istrinya.

Dalam ajaran agama Islam, berapa nilai atau besaran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya? KH Ahmad Sarwat Lc pada laman Rumah Fiqih menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat ulama terdahulu.

Baca Juga

KH Ahmad Sarwat menjelaskan, hak istri atas nafkah dari suaminya dijamin 100 persen dalam syariat Islam. Ada begitu banyak dalil tentang kewajiban suami memberi nafkah harta kepada istrinya. Namun besarannya memang tidak diatur secara pasti di dalam Alquran atau pun Sunnah, sehingga para ulama juga berbeda pendapat dalam menetapkan besarannya.

Namun umumnya para ulama berpendapat agar nilai nafkah itu disepakati bersama, antara kedua belah pihak dari suami dan istri. Sehingga ketentuannya seperti dalam hukum jual-beli, yaitu pembeli wajib membayar harga barang yang dibelinya. Kewajiban itu memang perintah syariah. Tetapi berapa nilainya, tentu harus sesuai dengan kesepakatan di antara penjual dan pembeli.

Maka idealnya berapa nilai nafkah yang menjadi kewajiban suami itu ditentukan sejak sebelum pernikahan dilakukan, serta menjadi salah satu faktor penentu apakah sebuah lamaran itu diterima atau tidak. Kurang lebih menjadi satu paket dengan nilai mahar yang juga perlu disepakati sebelum pernikahan.

Namun sayangnya, dalam prakteknya, setiap ada persiapan pernikahan, urusan nilai mahar dan nafkah malah sama sekali tidak diotak-atik. Sebab yang diributkan hanya kostum, katering, gedung, kartu undangan, acara, hiburan dan hal-hal yang sifatnya insidentil. Tetapi berapa nafkah dan mahar yang menjadi kewajiban suami dan menjadi hak istri, sepertinya dianggap main-main semata.

Maka kalau di tengah perjalanan rumah tangga, tiba-tiba ada keributan tentang jatah nafkah buat istri, bisa saja suami mengelak dengan mudah. Karena memang tidak ada kesepakatan apapun atas nilai yang wajib dibayar oleh suami. Berapa angka nilai mahar saja tidak disepakati, apalagi nilai nafkah. Walhasil, secara hukum yang hitam putih, maka pihak istri tentu tidak bisa menuntut apa-apa, kalau sudah bicara angka.

Memang di dalam Alquran disebutkan bahwa suami wajib memberi nafkah secara ma'ruf. Ayatnya memang jelas seperti ini

 . . . . .وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ. . . .  

. . . . wa ‘alal-maulūdi lahū rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma‘rūf(i) . . .

. . . Kewajiban ayah (suami) menanggung makan (memberi rezeki) dan pakaian mereka (istri) dengan cara yang ma'ruf . . . (QS Al-Baqarah Ayat 233)

Tetapi berapa angka pastinya nilai nafkah yang disebut dengan makruh itu?

Maka jawabannya hanya yang sewajarnya saja. Tetapi sewajarnya itu berapa? Tidak ada ketentuannya.

Mengapa tidak ada ketentuannya? Jawabannya karena nilainya itu diserahkan kepada kesepakatan awal dari masing-masing pihak. Repotnya, kalau kesepakatan awalnya tidak ada, maka bisa saja muncul potensi konflik.

Nilai Nafkah Dalam Fiqih

Kalau kita buka berbagai kitab fiqih, khususnya bab-bab yang berbicara tentang angka nilai nafkah, maka kita akan menemukan setidaknya empat pendapat para ulama yang berbeda.

1. Pendapat Pertama: Nafkah Secukupnya

Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah sebagian penganut mazhab As-Syafi'iyah dan kebanyakan pemeluk mazhab Al-Hanabilah.

Mereka menyebutkan bahwa tidak ada standarisasi nilai nafkah yang ditetapkan secara baku, semua dikembalikan unsur kecukupan dan kepantasan saja.

Istilah ini diwakili dengan lafadz "bil-ma'ruf" yang tersebar di dalam berbagai dalil, baik dari Alquran maupun dari Sunnah.

Dalilnya adalah ayat 233 dari Surat Al-Baqarah di atas, yaitu suami wajib memberi nafkah kepada istri dengan nilai yang ma'ruf. Istilah makruf ini ditafsirkan oleh pendapat pertama sebagai "secukupnya" atau kurang lebih "sewajarnya."

Selain itu juga ada hadits tentang istri Abu Sufyan yang komplain kepada Rasulullah SAW atas kecilnya nafkah yang diterimanya. Lantas Rasulullah SAW membolehkannya untuk mengambil sendiri harta suaminya, tetapi dengan ukuran sewajarnya.

Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata, "Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah yang demikian itu aku berdosa? Nabi SAW bersabda: Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik." (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Kebanyakan pasangan suami istri memang menggunakan pendekatan pendapat pertama ini. Namun sebenarnya istilah "secukupnya" kalau mau ditelusuri, masih meninggalkan tanda tanya juga, karena nilainya tidak pasti. Sebab boleh jadi urusan cukup atau tidak cukup ini buat tiap istri berbeda-beda nilainya.

Apalagi kalau kasusnya seorang punya istri lebih dari satu, dan masing-masing pasang tarif atas nafkah yang menjadi hak mereka. Maka istilah "secukupnya" boleh jadi tidak menyelesaikan masalah, karena sifatnya sangat relatif.

2. Pendapat Kedua

Belum tuntasnya ukuran nilai nafkah di atas, akan terjawab kalau kita pindah pada pendapat kedua, yang merupakan pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah secara muktamad, dan juga pendapat Al-Qadhi dari kalangan mazhab Al-Hanabilah.

Mereka menyebutkan bahwa harus ada ukuran minimal standar nilai nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya. Ukurannya ditetapkan dalam bentuk bahan makanan pokok yang wajib diberikan per hari, oleh suami kepada istri.

Ukuran minimal nafkah itu menurut pendapat As-Syafi'iyah, bahwa setiap harinya seorang suami wajib memberi bahan makanan pokok kepada istrinya satu mud gandum atau kurma. Buat suami yang agak luas rezekinya, minimal dua mud. Jika berada di tengah-tengah, maka jumlahnya satu mud setengah.

Istilah mud merupakan ukuran volume, yang biasanya di masa Rasulullah SAW digunakan untuk menyebutkan banyaknya suatu makanan. Kata mud sendiri bermakna dua genggaman tangan. Maka kalau disebutkan gandum sejumlah satu mud, berarti gandum sebanyak yang bisa ditampung dengan kedua telapak tangan manusia.

Di dalam Kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu susunan Dr. Wahbah Az-Zuhaili bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 0,688 liter atau 688 ml.

Sedangkan Al-Qadhi dari mazhab Al-Hanabilah menyebutkan minimal seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya berupa bahan makanan pokok seberat dua rithl. Ukuran rithl (bukan liter) adalah ukuran yang biasa digunakan pada masa lalu untuk mengukur berat makanan.

Pertanyaannya, dari manakah Al-Qadhi mendatangkan angka 2 rithl ini? Ternyata angka itu adalah qiyas dari kewajiban untuk membayar kaffarah. Karena keduanya sama-sama merupakan kewajiban yang identik, yaitu memberi makan. Kalau kaffrah adalah memberi makan fakir miskin sebanyak dua rithl, maka kewajiban memberi makan istri setidak-tidaknya seperti halnya memberi makan kepada fakir miskin, yaitu besarnya juga dua rithl.

Kalau dibandingkan dengan ukuran berat di zaman sekarang, banyak ulama kontemporer yang menyebutkan bahwa satu rithl setara dengan 454 gram. Jadi dua rithl itu sama dengan 908 gram atau mendekati satu kilo.

3. Pendapat Ketiga

Pendapat ini menyebutkan bahwa kadar ukuran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya ditetapkan oleh negara, yang dalam hal ini oleh pemerintah, qadhi atau sultan.

Pemerintah adalah waliyyul-amr atau orang yang diamanahi urusan umat Islam. Dalam pandangan ini, apa yang belum ditetapkan nilainya di dalam Alquran dan Sunnah, maka menjadi tugas dari pemerintah yang sah. Sehingga berapa besaran nilai nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami kepada istrinya, maka harus menunggu ketetapan dari negara atau pemerintah.

Kalau kita menggunakan pendapat ini, maka kurang lebih mirip di zaman sekarang ini dengan upah minimum regional (UMR), yang ditetapkan oleh penguasa kepada para pengusaha. Jadi semua dikembalikan kepada negara, berapa kira-kira nilai nafkah yang wajib dikeluarkan oleh seorang suami.

Pendapat ini adalah pendapat sebagian dari para ulama yang bermazhab Asy-Syafi'iyah.

4. Pendapat Keempat

Pendapat yang keempat atau yang terakhir menyebutkan bahwa nilai besaran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya ditetapkan berdasarkan urf atau tradisi yang berlaku di suatu tempat. Boleh jadi satu tempat dengan tempat lainnya berbeda-beda dalam menetapkan nilai nafkah.

Misalnya di suatu desa sudah mentradisi bahwa nakfah yang wajib diberikan adalah seluruh gaji, maka otomatis semua gaji suami menjadi nafkah buat istrinya. Namun bisa saja di tempat yang lain, kebiasaan yang berlaku berbeda lagi.

Pendapat yang terakhir ini juga merupakan pendapat sebagian lain dari para ulama di dalam keluarga besar mazhab Asy-Syafi'i. Demikian penjelasan KH Ahmad Sarwat Lc.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement