Jumat 14 Nov 2025 19:14 WIB

Guru Manshur, Ulama Besar dari Tanah Betawi

Guru Manshur menurunkan murid-murid yang akhirnya juga menjadi ulama masyhur.

Guru Manshur.
Foto: republika.co.ic
Guru Manshur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada abad ke-19, Jakarta dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 10 daerah dakwah Islam. Itu lengkapnya adalah Pekojan, Mester, Paseban, Cipinang Muara, Kuningan, Menteng Atas, Gondangdia, Basmol, Cengkareng, dan Tenabang.

Dari Pekojan, sejarah mencatat satu nama ulama besar, yakni Guru Manshur Jembatan Lima. Disebut demikian karena ulama tersebut tinggal di Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang kala itu masih termasuk area Pekojan.

Baca Juga

Mengutip buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011), Syekh Muhammad Manshur alias Guru Manshur lahir di Jakarta pada 1887. Ia masih keturunan Tumenggung Cakra Jaya dari Mataram, Jawa.

Muhammad Manshur menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan sang ayah, KH Abdul Hamid. Setelah ayah sekaligus guru pertamanya itu wafat, dia belajar pada KH Mahbub, yang tidak lain kakaknya sendiri.

Di samping itu, Manshur muda juga menimba ilmu dari KH Thabrani bin Abdul Mughni. Begitu pula dengan Syekh Mujitaba, yang kemungkinan ditemuinya ketika bermukim di Tanah Suci.

Saat berusia dewasa, Manshur menunaikan ibadah haji. Dia juga menggunakan kesempatan ini untuk menuntut ilmu-ilmu agama.

Di sana, Manshur berguru pada sejumlah ulama besar. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Mukhtar Atharid al-Bughuri, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syekh Ali al-Maliki, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Umar Sumbawa.

Empat tahun kemudian, dia kembali ke Jakarta. Lekatlah gelar guru di depan namanya. Sebagaimana para ulama Nusantara yang lama di Haramain, Guru Manshur mendirikan majelis ilmu. Untuk tempat mengajar, pilihannya jatuh pada Masjid Jembatan Lima.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ameera Network (@ameeranetwork)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement