Jumat 24 Oct 2025 14:24 WIB

Amphuri Soroti Diskriminasi dalam UU Haji yang Baru: Jamaah Umrah Mandiri tak Dapat Perlindungan

Dia mengungkap, ada potensi diskriminasi terselubung terhadap jamaah mandiri.

Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan
Gerakan Umrah Backpacker
Foto: Instagram
Gerakan Umrah Backpacker

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Bidang Litbang DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Ulul Albab menilai kebijakan legalisasi Umrah Mandiri dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 perlu dikaji ulang secara serius. 

Menurut Ulul, meski kebijakan ini terkesan memberi ruang kebebasan bagi umat Islam untuk mengatur perjalanan ibadahnya, namun di sisi lain menyimpan sejumlah persoalan mendasar.

Baca Juga

Ulul menjelaskan, undang-undang baru yang mengubah UU Nomor 8 Tahun 2019 itu lahir dengan semangat memperbaiki tata kelola ibadah haji dan umrah agar lebih syar’i, aman, dan mendukung ekosistem ekonomi keumrahan. Namun, ia menilai, pengakuan terhadap Umrah Mandiri justru belum memiliki kejelasan definisi maupun mekanisme hukum yang kuat.

"Dalam Pasal 1 ternyata tidak menyebut sama sekali istilah umrah mandiri. Padahal, istilah ini kini memiliki konsekuensi hukum dan administratif yang besar,” ujar Ulul saat dikonfirmasi Republika, Jumat (24/10/2025).

Ia mengingatkan, ketidakjelasan definisi tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan risiko hukum, terutama bagi masyarakat awam yang tidak memahami detail regulasi. “Jangan heran jika kelak dalam implementasi UU ini muncul kegaduhan baru,”ujar dia.

Ulul menegaskan, meskipun jamaah diberi ruang untuk beribadah secara mandiri, prinsip penyelenggaraan tetap harus berasaskan syariat, amanah, keadilan, profesionalitas, akuntabilitas, dan perlindungan jamaah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU tersebut.

Polemik Umrah Mandiri

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement