REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pihak Trans7 melakukan kunjungan ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam rangka tabayyun atau klarifikasi atas tayangan yang menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat pesantren. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak berdialog secara terbuka dan konstruktif untuk mencari solusi terbaik serta memperkuat sinergi dalam mewujudkan media penyiaran yang beretika, berkeadaban, dan berperspektif Islam rahmatan lil ‘alamin.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan, permasalahan ini bukan sekadar persoalan program siaran, tetapi juga menyangkut aspek mendasar terkait sumber daya manusia (SDM) di balik produksi media.
“Kalau persoalannya hanya tayangan, itu seperti kebakaran yang bisa dipadamkan. Tapi kalau sumber masalahnya adalah SDM yang membawa paham intoleran, maka masalah ini akan berulang,” kata Sudarnoto, dikutip dari laman MUI Digital, Rabu (22/10/2025)
Ia menambahkan, dalam tayangan yang menjadi sorotan publik, terdapat narasi bernada intoleran dan mengandung kebencian. Karena itu, ia mengingatkan agar media berhati-hati dalam merekrut dan membina SDM yang terlibat dalam proses produksi.“Kita harus waspada terhadap paham-paham sempit yang bisa masuk melalui media. Ini bukan hanya soal konten, tapi soal ideologi di balik konten itu,” ujar dia.
Sejumlah pimpinan MUI juga mengingatkan narasi yang menyudutkan tradisi pesantren dapat memicu Islamofobia berbasis budaya, yakni prasangka terhadap praktik keislaman lokal yang telah menjadi bagian dari jati diri bangsa.
"Dari dulu, bahkan sejak zaman Bung Karno, ada pandangan yang menganggap santri itu kolot atau kuno. Narasi semacam ini masih hidup hingga kini. Kalau dibiarkan, bisa menjadi pintu masuk Islamofobia dalam bentuk baru,” ujar salah satu pimpinan MUI.
