REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang suami wajib menanggung sandang, pangan, dan papan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, yaitu istri dan anak-anaknya. Jangan sampai seorang suami teledor atau abai dalam menafkahi istri dan anak-anaknya.
Misalnya, gaji atau penghasilan usaha suami tidak diberikan untuk menafkahi istri dan anak-anak. Atau, suami tidak berusaha sama sekali untuk bekerja demi menafkahi mereka. Kemudian, istri dan anak-anaknya menjadi sengsara dan mengandalkan bantuan orang lain.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Bila seorang suami berbuat seperti itu, maka ia sedang melakukan perbuatan dosa. Simaklah sebuah hadis yang dinukil dalam kitab At-Targhib wat Tarhib.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَفَى بِالْمَرْءِاِثْمًاأَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَوَالنَّسَائِ- وَفِى رِوَايَةٍ مِنْ يَعُوْلُ.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Cukuplah seseorang menanggung dosa jikalau ia menyia-nyiakan orang yang wajib ditanggung makannya" (HR Abu Dawud).
Seorang suami menjadi pemimpin dari keluarganya. Dia memiliki tanggung jawab untuk memastikan dan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani istri dan anak-anaknya.
Sebab, peran lelaki sebagai suami akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat. Sama halnya, seorang istri pun akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dalam manajemen rumah tangga, termasuk mengasuh anak-anak.




