REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, bangsa Arab telah menggunakan kalender yang berdasarkan pada peredaran bulan (lunar calendar). Sistem penanggalan itu disebut sebagai qamariyah, berasal dari nama qamar yang berarti ‘bulan’.
Menurut buku Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, satu tahun qamariyah terdiri atas 12 bulan, 354 hari, delapan jam, 47 menit, dan 36 detik. Setiap bulannya terdiri atas 29 hari, 12 jam, 44 menit, dan tiga detik.
Ada bulan yang terdiri atas 30 hari. Ada pula yang 29 hari. Selama satu tahun, bulan yang 30 hari terdapat pada bulan-bulan ganjil. Jumlah 29 hari terdapat pada bulan-bulan di urutan yang genap.
Sampai dengan wafatnya Rasulullah SAW, sistem penanggalan qamariyah tidak mengalami perubahan yang signifikan. Barulah pada zaman Khulafaur rasyidin, tepatnya era khalifah Umar bin Khattab, ada upaya mereformasi kalender.
Hal itu bermula dari persoalan administrasi yang tampaknya sederhana. Pada suatu hari, di sekitar tahun 638 Masehi, Gubernur Basrah Abu Musa al-Asy’ari mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Khattab. Kalimat pembukanya cukup menggelitik: “Menjawab surat Tuan yang tidak bertanggal ….”
Kata-kata itu ternyata menarik perhatian Umar. Sang amirul mukminin pun bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk menggali kemungkinan umat Islam memiliki kalender sendiri.
Ada beberapa usulan. Pertama, patokan awal sistem penanggalan ini merujuk pada “Tahun Gajah”, yakni ketika tentara bergajah menyerang Ka’bah. Momen itu juga istimewa karena menandai tahun kelahiran Rasulullah SAW.
Kedua, berpatokan pada masa turunnya wahyu pertama kepada Nabi SAW, yang ketika itu berusia 40 tahun. Ketiga, acuannya adalah tahun wafatnya Rasulullah SAW. Keempat, hijrahnya Nabi SAW dan kaum muhajirin dari Makkah ke Yastrib (Madinah).
Terhadap masukan-masukan itu, Khalifah Umar mempertimbangkannya dengan masak. Seperti diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam biografi Umar bin Khattab, sang amirul mukminin condong pada usul terakhir—yang konon diajukan Ali bin Abi Thalib RA.
Umar menguatkannya dengan berpandangan bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah merupakan suatu peristiwa besar dalam sejarah Islam. Dengan itulah, Allah SWT semakin memperkuat kedudukan Nabi Muhammad SAW dan syiar agama-Nya.
