REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Indonesia merupakan negara pengirim jamaah haji dan umroh terbesar di dunia. Setiap tahunnya, jutaan warga Indonesia menunaikan ibadah umroh, sementara itu antrean haji reguler dapat mencapai belasan hingga puluhan tahun. Besarnya antusiasme masyarakat ini menandakan potensi besar sekaligus tantangan dalam menata ekosistem haji dan umroh secara terstruktur, adil, dan berkelanjutan.
Center for Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melihat terdapat lembaga layanan haji yang memiliki peran tumpang tindih satu sama lain. Lantas, bagaimana gagasan konkret serta rekomendasi yang dapat memperkuat peran pemerintah, meningkatkan kapasitas swasta, dan mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan serta pembenahan layanan haji dan umroh?
Kepala CSED-INDEF, Prof Nur Hidayah mengatakan, pengelolaan dana haji memiliki urgensi yang tinggi karena hasil investasinya digunakan untuk menutup kesenjangan antara Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Landasan hukum pengelolaan keuangan haji ini merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2014 dan PP Nomor 5 Tahun 2018.
"Pada tahun 2023 terjadi peningkatan aset yang berasal dari investasi pada surat berharga dan pembiayaan bagi hasil, dari sisi investasi terjadi penurunan sebesar 20,09 persen, dan proporsi investasi emas mulai masuk sebagai diversifikasi baru dengan keuntungan sekitar 12 persen atau Rp 48 juta," kata Hidayah saat diskusi publik Ekonomi dan Keuangan Syariah: Saatnya Reformasi Kelembagaan Haji dan Umroh yang digelar CSED-INDEF, Jumat (20/6/2025)
Dalam konteks global, ia menjelaskan, Indonesia dapat mencontoh pendekatan Malaysia yang telah menggunakan kerangka alokasi aset strategis yang kuat, dengan komposisi pendapatan lembaga haji yang sebagian besar berasal dari efek berpendapatan tetap. Malaysia juga telah membedakan subsidi sejak 2022 berdasarkan kelompok ekonomi. Yakni B40 (pendapatan bawah), M40 (menengah), dan T20 (atas), di mana kelompok T20 tidak lagi disubsidi.
Untuk meningkatkan efektivitas dan ketahanan dana haji Indonesia, Hidayah merekomendasikan, pertama, diversifikasi instrumen investasi, termasuk memperluas investasi emas, misalnya lewat bullion bank. Kedua, investasi langsung di luar negeri. Ketiga, mendorong revisi UU Pengelolaan Keuangan Haji guna memperkuat kewenangan BPKH, koordinasi antar lembaga, penggunaan multi-currency, serta opsi penambahan emas sebagai bentuk setoran biaya haji.
"Semua ini berpijak pada prinsip Maqashid Syariah, yakni perlindungan atas harta, jiwa, dan keberlanjutan sosial-fiskal melalui pengelolaan yang transparan dan akuntabel," ujar Hidayah.