REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketegangan antara Iran dan Israel kali ini memunculkan pertanyaan serius mengenai potensi eskalasi menuju perang nuklir. Pemerhati Teknologi Militer, Rahmad Budi Harto menilai, meski konflik yang berlangsung saat ini bersifat sangat serius, risiko perang nuklir tetap tergolong rendah, terutama jika merujuk pada kondisi strategis kedua negara.
"Konflik nuklir hanya akan dipicu bila sebuah negara yang memiliki kekuatan nuklir, dalam hal ini Israel, merasa eksistensinya terancam (existential threat)," ujar Rahmad saat dihubungi Republika, Senin (16/6/2025).
Eks jurnalis Republika ini menuturkan, Israel dilaporkan memiliki 80-90 hulu ledak nuklir, sebagaimana dikutip dari data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). Sebagai sekutu dekat Amerika Serikat, Israel juga mendapat jaminan perlindungan militer, termasuk dalam bentuk nuclear umbrella, alias payung nuklir.
Dukungan tersebut terbukti dalam berbagai operasi militer terdahulu. "Sebagai catatan, militer AS melalui armada AL-nya di Mediterania ikut menangkis rudal balistik Iran yang diluncurkan pada Operasi True Promise 1 (April 2024) dan True Promise 2 (Oktober 2024), dan dalam konflik terkini (True Promise 3?)," kata Rahmad.
Sementara itu, Iran diyakini belum memiliki hulu ledak nuklir. Negara tersebut dilaporkan menghentikan program pengembangan bom nuklir sejak 2003 dalam upaya memperoleh keringanan sanksi ekonomi.
"Iran yang berkekuatan nuklir akan menjadi negara yang mendapat sanksi ekonomi permanen seperti Korea Utara," jelas Rahmad.
Dia menambahkan, Iran juga tidak memiliki sekutu kuat seperti halnya Israel dengan AS. Hubungan dengan Rusia maupun China belum sampai pada tingkat perjanjian pertahanan komprehensif, sehingga Iran tidak memiliki payung nuklir maupun jaminan militer yang setara.