REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Sehubungan dengan langkah diplomatik yang dipimpin oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mencapai "penyelesaian" dengan Houthi di Yaman dan mengirimkan sinyal yang jelas yang mendukung ketenangan di Jalur Gaza, Israel bergerak secara militer dengan kecepatan yang dipercepat.
Israel mengumumkan dimulainya tahap pertama "Kereta Gideon" seakan-akan mereka sedang bertempur di ronde-ronde terakhir dari sebuah pertempuran yang menentukan.
Langkah ini bukan hanya eskalasi sekilas, melainkan merupakan bagian dari strategi yang digambarkan di kalangan militer Israel sebagai "pertempuran 90 menit".
Istilah ini, yang telah mulai beresonansi dalam analisis bahasa Ibrani, mengacu pada taktik menerkam pada menit-menit terakhir untuk mencapai jumlah keuntungan terbesar di lapangan sebelum jendela peluang ditutup.
Baik karena tekanan diplomatik atau kesepahaman regional yang mungkin tidak sesuai dengan tujuan Tel Aviv.
Yang membedakan taktik ini adalah fokusnya pada kecepatan dan ketegasan, karena Israel berusaha untuk memaksakan fakta-fakta di lapangan yang sulit untuk diubah atau diabaikan dalam negosiasi berikutnya.
BACA JUGA: Perang India VS Pakistan Memang Berhenti, tetapi Kebencian Terhadap Muslim tak Padam
Namun pertanyaan yang lebih dalam adalah apakah taktik ini berasal dari kekuatan Israel yang percaya diri, atau dari rasa tertekan dan terdesak, sebagai akibat dari perubahan regional yang cepat? Apa saja risiko yang mungkin timbul dari pendekatan ini?
Dari mana taktik ini berasal?
Taktik yang dikenal sebagai "pertempuran 90 menit" bukanlah hal baru dalam doktrin militer Israel, melainkan taktik ini muncul hari ini dalam konteks yang khusus.
Lihat postingan ini di Instagram