REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum Muslimin, wabilkhusus kalangan santri, mesti mengenal Al-Muwatta, yakni kitab kumpulan hadis dan fatwa karya Malik bin Anas. Sang penulis lebih masyhur dengan sebutan Imam Malik.
Ia memiliki reputasi yang besar. Bahkan, seorang khalifah saja rela duduk bersama di tengah-tengah rakyat jelata hanya demi mendengarkan pengajian kitab tersebut dari sang penulisnya langsung.
Khalifah yang dimaksud adalah Harun al-Rasyid. Awalnya, ia tak menyangka Imam Malik menolak undangannya untuk berceramah di Istana tentang Al-Muwatta. Undangan kepada sang Imam memang tak ditolak. Akan tetapi, begitu sang imam hadir di halaman istana, ia menolak berceramah.
Ini tentu saja mengherankan Khalifah Harun al-Rasyid. Sebab, setiap kali mengundang ulama lain berceramah di istana, tak ada yang menolak.
Imam Malik pun berkata, "Wahai Rasyid, hadis adalah pelajaran yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi leluhur Anda. Kalau Anda tidak menghormatinya, maka orang lain pun juga demikian. Manusialah yang mencari ilmu, bukan ilmu yang mencari manusia."
Perkataan ini begitu menyentak Sultan Harun al-Rasyid, apalagi dirinya adalah seorang pemimpin yang cinta akan ilmu pengetahuan.
Kata-kata sang Imam mengingatkan arti ketinggian ilmu, sehingga ia pun bersedia mendatangi majelis sang Imam bersama-sama kedua putranya. Kendati demikian, tabiat penguasanya tetap menghendaki dirinya belajar tanpa harus berdampingan dengan rakyat jelata.
Imam Malik jelas menolaknya, "Saya tak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi saja."
Sultan Harun pun mengalah dan akhirnya sejarah mencatat seorang penguasa negeri harus tunduk patuh pada seorang ulama karena ia membutuhkan ilmu yang dimiliki sang ulama.
View this post on Instagram
Tingginya kedudukan ilmu
Kisah di atas menunjukkan, betapa tinggi kedudukan ahli ilmu atau ulama dalam Islam. Allah SWT dalam Alquran surah az-Zumar berfirman. Artinya, “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui daripada orang-orang yang tidak mengetahui?’”