REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) K.H. Achmad Satori Ismail mengatakan berbagai tradisi menyambut Syawal usai Idul Fitri, seperti lebaran ketupat, grebeg Syawal di Yogyakarta, dan perang topat di Lombok, menjadi bukti keberagaman budaya masyarakat Indonesia.
“Inilah bentuk keberagaman identitas bangsa Indonesia yang patut dijaga dan disyukuri. Selama hal tersebut dapat bermanfaat, tidak mengandung unsur kesyirikan dan takhayul, maka secara agama itu diperbolehkan,” kata Satori dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Menurut dia, tradisi menyambut Syawal dengan cara membagi-bagikan makanan untuk berbagai tujuan, dibolehkan dalam agama, sepanjang hal itu tidak mengandung maksud penyekutuan Allah Swt.
Sementara itu, terkait tradisi mendoakan orang yang sudah meninggal, berziarah, mengundang orang lain untuk bersilaturahim, hingga berdoa bersama merupakan bentuk keindahan yang harus dijaga dan dihormati, bukan justru dihujat atau dihakimi.
“Selama tujuannya bukan untuk mengagungkan si mayat atau untuk menyembah yang lain, tetapi sebagai sarana kebersamaan untuk makan bersama, bisa membawa berkat ke rumah, itu adalah sesuatu yang sebenarnya indah,” katanya.
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini berpandangan, momentum Syawal dapat diinternalisasi untuk menyempurnakan ibadah-ibadah yang sudah dilakukan secara konsisten selama Ramadhan dengan silaturahim dan saling memaafkan.
Seorang Muslim, dia menambahkan, sejatinya memiliki keikhlasan untuk saling memaafkan dan kelapangan dada dalam memahami perbedaan. Hal itulah yang ia yakini sebagai esensi bulan Syawal dalam menyempurnakan ibadah.
Lebih lanjut dia mengatakan Syawal merupakan momen yang tepat untuk saling introspeksi serta membersihkan hati dari segala benci, perselisihan, dan perbedaan, baik perselisihan politik, mazhab, maupun perbedaan agama.
Menurut dia, momentum ini ialah bentuk aktualisasi bulan Ramadhan dengan saling menghormati dan menjaga kepedulian terhadap sesama sekaligus membangun empati tanpa harus melihat identitas suku, ras, atau agama.
“Sehingga kita kembali kepada fitrah, bersih, dalam artian jiwa dan jasmani kita bersih karena Islam itu rahmat bagi seluruh alam, menjadi kasih sayang dan penebar kasih sayang untuk seluruh alam. Bukan hanya kepada Muslim,” kata Satori.