Senin 31 Mar 2025 05:00 WIB

Idul Fitri: Momentum Spiritualitas dan Etika Ekonomi

Idul Fitri bukan akhir dari ibadah, melainkan awal dari komitmen panjang.

Sejumlah pemudik bersepeda motor melintas di Kalimalang, Jakarta, Jumat (28/3/2025). Volume kendaraan di jalur mudik Kalimalang mulai meningkat pada H-3 Lebaran 2025. Kendaraan roda dua terlihat bergerak menuju jalur Pantura dengan tujuan Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Selain membawa barang bawaan yang beragam, banyak dari mereka juga menempelkan tulisan-tulisan lucu, sindiran, hingga curhatan di bagian belakang motor atau barang bawaannya.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah pemudik bersepeda motor melintas di Kalimalang, Jakarta, Jumat (28/3/2025). Volume kendaraan di jalur mudik Kalimalang mulai meningkat pada H-3 Lebaran 2025. Kendaraan roda dua terlihat bergerak menuju jalur Pantura dengan tujuan Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Selain membawa barang bawaan yang beragam, banyak dari mereka juga menempelkan tulisan-tulisan lucu, sindiran, hingga curhatan di bagian belakang motor atau barang bawaannya.

REPUBLIKA.CO.ID,

Idul Fitri: Momentum Spiritualitas dan Etika Ekonomi

Oleh: Syafruddin Karimi

Ketika gema takbir berkumandang menggetarkan langit malam 1 Syawal, umat Islam di seluruh penjuru dunia menutup bulan suci Ramadan dengan penuh rasa syukur dan haru. Idul Fitri, sebagai hari kemenangan, bukan sekadar perayaan spiritual, tetapi juga menjadi titik balik penting dalam pembangunan etika sosial dan ekonomi umat.

Selama Ramadan, umat Islam ditempa dalam sekolah kesabaran dan kedisiplinan. Tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga hawa nafsu dan perilaku konsumtif. Pola konsumsi yang lebih terkendali, kebiasaan bangun dini hari, serta meningkatnya aktivitas amal—semua ini membentuk karakter homo islamicus, manusia yang ekonominya dibingkai oleh iman dan taqwa.

Kebiasaan berinfak, membayar zakat fitrah, dan bersedekah menjadi praktik nyata dari redistribusi kekayaan yang tidak hanya diwajibkan, tetapi juga dilandasi oleh semangat kasih sayang dan solidaritas. Hal ini memperkuat fungsi ekonomi Islam sebagai sistem yang mengedepankan keadilan dan keberpihakan terhadap kelompok lemah.

Idul Fitri menandai awal baru. Setelah sebulan penuh pelatihan spiritual, umat Islam kembali ke rutinitas kehidupan dengan jiwa yang bersih dan semangat baru untuk produktif. Dalam perspektif ekonomi Islam, Idul Fitri bukan hanya pesta kemenangan, melainkan panggilan untuk membangun peradaban.

Etos kerja dalam Islam tidak terpisah dari ibadah. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya" (HR. Ahmad) merupakan motivasi untuk terus berkarya, berinovasi, dan berkontribusi terhadap kemajuan umat. Idul Fitri adalah panggilan untuk melanjutkan kehidupan dengan penuh integritas dan tanggung jawab sosial.

Perayaan Idul Fitri sering kali diwarnai dengan peningkatan konsumsi: pakaian baru, makanan lezat, dan mudik massal. Namun dalam pandangan Islam, konsumsi bukanlah tujuan, melainkan wasilah (sarana) untuk mempererat silaturahmi, memperkuat ukhuwah, dan meningkatkan kesejahteraan kolektif.

Momentum ini seharusnya mengajak umat Islam untuk bertransisi dari budaya konsumtif menjadi kontributif, yakni dari hanya membeli menjadi berbagi, dari membelanjakan menjadi menyejahterakan, dari pemborosan menuju keberkahan.

Idul Fitri bukan akhir dari ibadah, melainkan awal dari komitmen panjang membumikan nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Semoga Allah SWT menerima semua amal ibadah kita, menghapus dosa-dosa kita, dan menjadikan kita insan yang kembali fitrah—bersih jiwanya, kuat etos kerjanya, dan tinggi kontribusinya bagi umat dan bangsa.

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1446 H.

Mohon maaf lahir dan batin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement