Kamis 06 Mar 2025 14:38 WIB

Palestina Terancam Kelaparan Akibat Israel Blokade Bantuan Ramadhan

Pembatasan baru Israel ini diperkirakan akan memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Warga Palestina berbuka puasa bersama diantara reruntuhan rumah dan bangunan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Sabtu (1/3/2025). Pasca gencatan senjata, warga Palestina menjalani bulan suci Ramadhan dengan lebih baik jika dibandingkan tahun sebelumnya. Meski hidup ditengah kondisi kota yang hancur, namun pada Ramadhan tahun ini warga Palestina di Gaza bisa melakukan buka puasa dan ibadah Ramadhan bersama dengan tenang.
Foto: AP Photo/Abdel Kareem Hana
Warga Palestina berbuka puasa bersama diantara reruntuhan rumah dan bangunan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Sabtu (1/3/2025). Pasca gencatan senjata, warga Palestina menjalani bulan suci Ramadhan dengan lebih baik jika dibandingkan tahun sebelumnya. Meski hidup ditengah kondisi kota yang hancur, namun pada Ramadhan tahun ini warga Palestina di Gaza bisa melakukan buka puasa dan ibadah Ramadhan bersama dengan tenang.

REPUBLIKA.CO.ID,GAZA -- Warga Palestina di Jalur Gaza khawatir akan kembali mengalami kelaparan parah seperti yang mereka alami selama perang dan genosida yang dilakukan Israel selama 15 bulan di Gaza. Kekhawatiran itu muncul setelah pemerintah sayap kanan Israel memutuskan untuk memblokir masuknya barang dan bahan bakar pada tanggal 2 Maret 2025, seiring dengan dimulainya bulan suci Ramadhan.

Keputusan Israel tersebut diambil setelah tahap pertama kesepakatan gencatan senjata yang berlangsung selama 42 hari berakhir, dan sebagai tanggapan atas penolakan Hamas terhadap proposal Amerika Serikat (AS) untuk memperpanjang kesepakatan tahap pertama. Hamas menuntut implementasi tahap kedua dari kesepakatan tersebut, yang mencakup penarikan Israel secara menyeluruh dari daerah kantong pantai yang terkepung, yang tampaknya berusaha dihindari oleh Israel. 

Baca Juga

Pembatasan baru Israel ini diperkirakan akan memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza, terutama karena hal ini terjadi bersamaan dengan datangnya bulan suci Ramadhan, dikutip dari halaman The New Arab, Kamis (6/3/2025).

Ketakutan akan kelaparan

Di dalam pasar Abu Iskandar di Kota Gaza, Mohammed Al-Firani (42 tahun) kepala keluarga dengan enam orang anak, sibuk membeli sayuran dan bahan makanan dalam jumlah besar.

“Keputusan Israel untuk menghentikan masuknya barang ke Gaza menandakan kelaparan yang parah. Orang-orang di sini takut akan apa yang akan terjadi, sehingga mereka membeli barang dalam jumlah yang melebihi kebutuhan harian mereka,” kata Al-Firani kepada The New Arab.

“Yang paling menyakitkan dari keputusan ini adalah keputusan ini diambil pada bulan suci Ramadan, ketika orang-orang membutuhkan sayuran dan bahan makanan untuk mempersiapkan berbuka puasa,” katanya.

Sementara itu, penjual sayuran Hassan Abu Rami secara terbuka berbicara tentang kekhawatirannya tentang hari-hari mendatang. 

"Sejak pengumuman Israel menghentikan masuknya barang, pasar menjadi kacau,” katanya kepada TNA. 

“Begitu orang-orang mendengar berita itu, mereka bergegas ke pasar dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Harga-harga mulai naik dengan cepat, seolah-olah kita berada di ambang kelaparan baru.”

Dia menjelaskan bahwa harga sayuran mulai naik, dengan harga tomat naik dari 12 shekel (sekitar 3,3 Dolar) menjadi 22 shekel (sekitar 6 Dolar), dan menjadi sulit untuk menemukan berbagai jenis sayuran karena tingginya permintaan.

Terlepas dari tantangan ini, Abu Rami mencoba meyakinkan pelanggannya bahwa stoknya belum habis, tetapi ketakutannya semakin bertambah setiap jamnya. 

“Jika penyeberangan tetap ditutup, tidak akan ada sayuran yang tersisa untuk dijual, dan harga akan terus naik sampai tidak ada yang bisa membeli,” katanya, sebelum pembicaraannya dengan TNA disela oleh seorang wanita yang bertanya dengan cemas tentang harga kentang.

Blokade Israel juga telah menyebabkan harga gas untuk memasak naik dengan cepat, dengan harga satu kilo gas sekarang seharga 100 shekel (sekitar 27 dolar), bukannya 40 shekel (sekitar 11 Dolar).

Hala Al-Fakhouri (34 tahun) khawatir terpaksa membakar kayu untuk memasak setelah pasokan gas di Gaza habis.

“Musim dingin lalu, kami terpaksa menggunakan kayu setelah gas habis. Asapnya membuat kami sesak napas, dan anak-anak menderita alergi karena menghirupnya. Selain itu, menyalakannya di tengah-tengah tenda sangat berbahaya,” kata Al-Fakhouri, yang tinggal di sebuah tenda di Kota Gaza, kepada TNA.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement