REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Situs web Walla Israel mengutip para pejabat keamanan yang mengatakan bahwa rincian dari tahap-tahap selanjutnya dari kesepakatan pertukaran tahanan di Jalur Gaza masih belum jelas, dan ada kekhawatiran akan runtuhnya kesepakatan gencatan senjata secara bertahap.
Para pejabat tersebut menambahkan bahwa tentara sedang mempersiapkan beberapa skenario, dan telah menyetujui rencana defensif dan ofensif di Gaza untuk memastikan kesiapan penuh selama beberapa hari mendatang dengan bekerja sama dengan Dinas Intelijen Internal (Shin Bet).
Mereka juga mengatakan bahwa Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) telah melakukan penilaian mendalam terhadap perang dan bekerja untuk membangun kembali infrastruktur dan merekrut pejuang baru, serta mempromosikan penggunaan alat peledak improvisasi dan taktik yang tidak konvensional sebagai persiapan untuk kemungkinan kembalinya permusuhan.
Menurut penilaian keamanan, Hamas mengirimkan orang-orang untuk memantau kerentanan IDF di perbatasan dengan Jalur Gaza.
Menurut penilaian keamanan, jika perjanjian gencatan senjata runtuh dan pertempuran berlanjut di Gaza, Houthi dapat melanjutkan serangan mereka ke Israel, dan upaya pengumpulan intelijen pada target potensial di Yaman telah diintensifkan.
Israel Broadcasting Corporation mengatakan bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memutuskan untuk secara resmi memulai negosiasi untuk tahap kedua dari kesepakatan pertukaran pekan depan berdasarkan demiliterisasi Hamas.
Juru bicara Hamas Hazem Qassem mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa meninggalkan Jalur Gaza atau melucuti perlawanan tidak dapat diterima. Dia menekankan bahwa pengaturan apapun untuk masa depan Gaza akan dibuat melalui konsensus nasional.
Gerakan perlawanan Islam Hamas akhirnya sepakat untuk gencatan senjata dengan Israel. Kesepakatan gencatan senjata ini diumumkan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani pada Rabu malam (15/1/2025).
BACA JUGA: 'Israel Telah Menjadi Bahan Tertawaan di Timur Tengah'
Kesepakatan ini terwujud setelah berbulan-bulan perundingan yang terkadang berlanjut dan terkadang mundur, dan setelah ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa gencatan senjata diperlukan sebelum dia mulai menjabat pada tanggal 20 Januari 2025.
Perjanjian tersebut mencakup klausul yang mengatur perbaikan kondisi tahanan Palestina di penjara pendudukan, tetapi Israel menolak untuk membebaskan tahanan senior Palestina di penjara pendudukan.
Disepakati pula untuk membentuk komite Mesir-Qatar untuk mengawasi kembalinya para pengungsi dari Jalur Gaza selatan ke utara.