REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di wilayah Khurasan (Asia Tengah), pada abad kedelapan hiduplah seorang perampok, Fudhail bin Iyadh. Sosok yang biasa melakukan kejahatan di rute antara Abu Warda dan Sirjis itu amat ditakuti. Jangankan bertemu muka. Siapapun pengelana jalur itu bila mendengar namanya disebut saja sudah merinding ketakutan.
Suatu malam, sejumlah pedagang ingin melewati lembah pada jalan tersebut untuk menuju Sirjis. Mereka menyadari, daerah itu sangat rawan perampokan. Apalagi, kawanan Fudhail bin Iyadh kerap beroperasi di sana.
Maka, mereka berunding terlebih dahulu dalam kemah sebelum meneruskan perjalanan. Seorang di antara mereka berkata, “Sungguh, Fudhail bin Iyadh dan gerombolannya biasa melancarkan aksinya di daerah ini. Kita harus berbuat apa?”
Seorang yang lebih alim dari ketiganya menjawab, “Siapkanlah panah-panah kita. Kita akan memanah ke arah mereka bersembunyi. Jika anak panah kita tepat mengenai sasaran, hendaknya kita melanjutkan perjalanan. Bila tidak begitu, sebaiknya kita kembali saja.”
“Akan tetapi,” lanjut dia, “Kita tidak sekadar memanah. Lebih dahulu kita membacakan ayat-ayat Alquran. Semoga Allah menolong kita.”
Masing-masing pria itu menggumamkan beberapa Kalamullah sebelum menjalankan rencana itu. Sementara, tak jauh di sana Fudhail bin Iyadh dan kawan-kawannya sudah bersemangat untuk menggempur kafilah dagang tersebut. Para penjahat itu berniat langsung menyergap begitu mereka mendekati lembah yang gelap.
Tiga pedagang dalam kafilah itu pun bersiap. Orang yang pertama melepaskan anak panahnya setelah membaca Alquran surah al-Hadid ayat 16.
Artinya, “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.”
Fudhail bin Iyadh ternyata mendengar ayat tersebut dibacakan. Tiba-tiba, tubuhnya terasa bergetar hebat. Ia pun merintih, berteriak keras, bahkan kemudian jatuh pingsan. Para anak buahnya mengira, bosnya itu terkena tembakan panah. Akan tetapi, tak ada satu pun luka di tubuh Fudhail bin Iyadh.
“Aku telah terkena anak panah Allah!” seru Fudhail sebelum tak sadarkan diri.
Para pengikutnya membangunkan Fudhail bin Iyadh. Ia pun kembali sadar meskipun tubuhnya kini basah oleh keringat.
Sementara itu, pedagang berikutnya mulai melepaskan anak panah kedua ke arah Fudhail sembari membaca surah adz-Dzariyat ayat 50. Artinya, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.”
Fudhail pun mendengar ayat ini dibacakan. Kini, ia berteriak lebih keras, “Wahai kalian semua! Aku terkena anak panah Allah!”
Orang terakhir dari kafilah itu meluncurkan panahnya sembar mengucapkan surah az-Zumar ayat 54. Terjemahannya, “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”
Lantunan ayat ini semakin membuat Fudhail gelagapan. Ia pun menyuruh seluruh anak buahnya untuk pergi meninggalkannya.
“Kalian semua, pulanglah! Sungguh, rasa takutku kepada Allah telah merasuk dalam jiwaku. Aku akan meninggalkan semua kejahatan yang selama ini kulakukan!”