REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertempuran Kotabaru terjadi pada 7 Oktober 1945 di daerah Kotabaru—kini bagian dari Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Para pejuang nasional berhadapan dengan serdadu Jepang. Meskipun pada akhirnya Dai Nippon menyerah, jumlah korban dari pihak Indonesia terbilang banyak. Sebanyak 21 orang gugur. Di antaranya ialah Ahmad Jazuli, Supadi, Sunaryo, Akhmad Zakir, Abubakar Ali, dan lain-lain.
Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa mereka, berbagai elemen masyarakat Muslim setempat berinisiatif mendirikan masjid. Pada 1950 di kawasan Kotabaru, rencana itu akhirnya terwujud. Berdirilah sebuah tempat ibadah Islam yang kemudian dinamakan Masjid Peringatan Syuhada.
Nama lengkap itu bermakna, tempat ibadah serta monumen pengingat pahlawan atau syuhada yang gugur dalam Pertempuran Kotabaru. Akan tetapi, kompleks tempat ibadah itu lebih sering disebut Masjid Syuhada. Masjid tersebut resmi dibuka untuk umum sejak 20 September 1952. Peresmiannya dihadiri presiden RI kala itu, Ir Sukarno.
Seperti dilansir dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masjid itu dibangun di atas lahan pemberian dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Lokasi tanah itu persis di dekat bibir Kali Code, yakni antara Jembatan Kridonggo (kreteg Kewek) dan Jembatan Gondolayu.
Masjid Syuhada dirancang terdiri atas tiga lantai. Atap masjid sebagai puncak masjid terdapat kupel (mustoko) besar sebagai kubah masjid. Bagian tengah merupakan ruangan untuk shalat dan bagian bawah berupa ruangan yang digunakan sebagai kantor dan perpustakaan masjid.
Dalam artikelnya yang diterbitkan Pemerintah DIY, Heru Sutrisno mengatakan, peletakan batu pertama pembangunan Masjid Syuhada berlangsung pada 23 September 1950 atau 11 Zulhijjah 1369 H. Itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sultan Hamengku Buwono IX, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia, turut hadir dalam momen tersebut.