REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di saat Israel membombardir Gaza Palestina, utusannya di Qatar membangun negosiasi dengan Hamas. Dalam momen lobi dan negosiasi itu, masing-masing pihak sama-sama berpegang pada pendiriannya meski sudah dimediasi perwakilan sejumlah negara. Apa kepentingan Israel dan Hamas?
Berdasarkan penuturan pejabat senior Hamas Taher al-Nounou kepada al Mayadeen, Israel selalu mendesak Hamas untuk membebaskan sandera. Namun desakan itu mengabaikan permintaan Hamas yang mendorong Israel menarik semua pasukannya dan menghentikan genosida di Gaza. Hingga pihak Hamas pernah menutup kesempatan perundingan berikutnya sampai pihak Israel berkomitmen menarik seluruh pasukan dari wilayah Palestina, barulah Hamas mau berunding lagi.
Menurut Al-Nounou, setiap kesepakatan harus mencantumkan gencatan senjata permanen, penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, pembangunan kembali Jalur Gaza dan blokade harus berakhir. Barulah setelah itu pertukaran tawanan.
“Memprioritaskan pertukaran tahanan saja tidak serta merta akan menghasilkan gencatan senjata yang langgeng,” kata Al-Nounou.
Negosiasi saat ini berkutat seputar kesepakatan yang hanyalah buang-buang waktu, dengan kedok negosiasi persiapan pemilu Amerika Serikat antara Kemala Haris dan Donald Trump.
Tujuan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan usulan ini adalah untuk "membeli waktu", yang ia lihat sebagai "bagian dari kampanye pemilihan lokal atau AS."
"Kami tidak memiliki hak veto untuk mendengarkan para mediator jika mereka memiliki usulan," pejabat Hamas itu menegaskan kembali, tetapi menggarisbawahi bahwa gerakan tersebut telah menjelaskan bahwa mereka menentang penghentian sementara permusuhan dan dimulainya kembali agresi Israel terhadap Gaza.