REPUBLIKA.CO.ID,GRESIK -- KH Faqih Usman merupakan seorang tokoh ulama asal Gresik yang multitalenta. Selain cakap dalam bidang agama, ia juga merupakan seorang pedagang, birokrat, dan politisi. Ia adalah seorang organisatoris ulung yang tidak hanya aktif di Muhammadiyah maupun di luar Muhammadiyah.
Mengutip buku “100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi”, KH Faqih Usman lahir di Gresik Jawa Timur pada 2 Maret 1904. Ia tumbuh besar di keluarga santri sederhana dan taat beribadah.
Awalnya ia belajar membaca Alquran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Pendidikannya melalui pondok pesantren di Gresik ditempuh pada 1914-1918. Setelah itu, pada 1918-1924 ia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik.
Faqih Usman dikenal sebagai seorang yang cerdas dan otodidak, dan sebagai ulama yang gemar membaca kitab-kitab kuning maupun pustaka lainnya. Visi keislamannya berwawasan ke depan, namun tetap tawadhuk dalam perilaku. Selain itu, ia juga menguasai bahasa Arab dengan baik, dan pengetahuan luas.
Untuk menopang kehidupannya, ia giat dalam dunia usaha dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, maupun pabrik tenun di Gresik. Dengan keuletan dan kepandaiannya dalam bisnis inilah, lalu dia diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan se-Daerah Gresik.
Faqih Usman memilih Muhammadiyah sebagai aktivitasnya karena organisasi ini sesuai dengan idealisme dan semangatnya. Pada tahun 1925 ia menjadi Ketua Groep Muhammadiyah Gresik yang dalam perkembangannya kemudian menjadi Cabang Muhammadiyah Gresik.
Faqih Usman yang dikenal sebagai kiai-intelektual itu berhasil mengembangkan Muhammadiyah di Jawa Timur. Pada periode 1932-1936, ia pun diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur. Ia juga memimpin majalah “Bintang Islam”, media cetak Muhammadiyah wilayah Jawa Timur.
Pada 1936, ia diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur menggantikan KH Mas Mansur yang diangkat sebagai Voorzitter (Ketua Umum) Hoofbestuur Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-26 di Jakarta pada 1936. Pada 1953 untuk pertama kalinya ia diangkat dan duduk dalam susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Dengan pengangkatan Faqih Usman sebagai konsul HB Muhammadiyah Surabaya membawa ia untuk memiliki wawasan, tanggung jawab dan jangkauan gerak yang semakin luas. Luasnya pergaulan membuat ia terlibat aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937.
MIAI dalam perkembangan selanjutnya menjadi Partai Masyumi. Ia pun ikut berperan dalam pendirian Partai Masyumi dalam suatu Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada 7 Nopember 1945. Ia menjadi sebagai salah anggota pengurus besar partai tersebut.
Faqih Usman juga pernah dipercaya untuk memimpin Departemen Agama RI pada masa Kabinet Halim sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada 1951, ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Ia dipercaya lagi sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo sejak 3 April 1952 sampai 1 Agustus 1953.
Setelah tidak menjadi menteri, ia duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak 1954. Sebagai tokoh Masyumi, ia juga berusaha untuk ikut dalam memecahkan masalah politik di negeri ini.
Setelah itu, Faqih Usman memilih untuk lebih banyak aktif di Muhammadiyah. Namun, aktivitas politiknya tetap berjalan. Pada periode kepengurusan Ki Bagus Hadikusumo (1948-1952), KH Faqih Usman ditunjuk sebagai Wakil Ketua I PP Muhammadiyah.
Kemudian, selama periode AR Sutan Mansur (1953-1958), ia menduduki posisi Wakil Ketua I. Pada periode H.M. Yunus Anis (1959-1962) dipercaya sebagai Wakil Ketua I. Pada kepemimpinan KH A Badawi yang pertama (1962-1965) ia juga ditunjuk sebagai Wakil Ketua I.
Pada saat itu, Faqih Usman mengemukakan pemikiran-pemikiran tentang Muhammadiyah yang dirumuskan menjadi suatu pedoman yang dikenal dengan “Kepribadian Muhammadiyah”. Rumusan ini diajukan pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta dan kemudian ditetapkan sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
Pada masa kepengurusan KH A Badawi yang kedua kali (1965-1968), Faqih Usman dipercaya sebagai penasihat PP Muhammadiyah. Ia selalu diminta aktif untuk ikut menyelesaikan tugas-tugas kepemimpinan Muhammadiyah terutama ketika KHA Badawi mulai sakit-sakitan.
Pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-37 pada 1968 di Yogyakarta, KH Faqih Usman akhirnya ditetapkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1968-1971. Pada saat Kiai Faqih terpilih, di dalam tubuh Muhammadiyah saat itu terjadi tarik-menarik kepentingan.
Di satu sisi ada keinginan agar Muhammadiyah menjadi partai politik, tetapi di sisi lain berpendapat agar Muhammadiyah tetap konsisten sebagai organisasi dakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Menghadapi kondisi seperti ini keberadaan seorang Faqih Usman pada saat itu sangat tepat. “Kepribadian Muhammadiyah” yang dirumuskannya menjadi jawaban penyelesaian atas tarik-menarik kepentingan terhadap Muhammadiyah tersebut.
Minat Kiai Faqih dalam bidang politik demikian besar. Pada masa Orde Baru ia terlibat dalam usaha pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang simbolnya persis simbol bulan bintang, simbol Masyumi. Pada 1968, sebenarnya ia dicalonkan untuk menjadi ketua umum Parmusi, namun karena kedudukan ia sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, maka ia tidak bersedia menduduki jabatan tersebut.
Ternyata amanah jabatan sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah itu hanya dapat ia laksanakan kurang dari sepuluh hari, karena ia sakit. Pada Rabu, 2 Oktober 1968, kira-kira seminggu setelah muktamar, ia mengundang seluruh anggota PP Muhammadiyah untuk mengadakan pertemuan di rumahnya di Jakarta.
Dalam pertemuan itu ia menyampaikan rencana kerja PP Muhamamdiyah dan Garis Besar Kebijaksanaan Muhammadiyah periode 1968-1971. Setelah melalui pembahasan seperlunya akhirnya program itu diterima oleh peserta sidang. Selesai sidang, mengingat kondisi kesehatan, ia mengungkapkan keinginan untuk berobat ke luar negeri. Selama berobat, ia pun meminta kesediaan Pak AR dan Prof HM Rasyidi untuk sementara melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan Muhammadiyah.
Pada 3 Oktober 1968, PP Muhammadiyah menggelar rapat di Gedung Dakwah Jl. Menteng Raya 62 Jakarta, yang dipimpin oleh Prof HM Rasyidi. Rapat itu berakhir pukul 13.45 WIB, bersamaan dengan itu diterima berita melalui telepon dari kediaman KH Faqih Usman yang mengabarkan bahwa Ketum PP Muhamamdiyah itu telah wafat pukul 13.00.