REPUBLIKA.CO.ID, Waris adalah proses berpindahnya kepemilikan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy :
والإرث شرعا حق قابل للتجزي يثبت لمستحقه بعد موت من كان له ذلك لقرابة بينهما أو نحوها كالزوجية. الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (755)
“Waris secara istilah syar’i adalah hak kepemilikan harta untuk kerabat keluarga atau yang semisalnya seperti karena pernikahan (suami-istri) setelah meninggalnya si pemilik harta.”
Secara prinsip, ketika seseorang meninggal, harta yang dimiliki secara otomatis berpindah kepada ahli warisnya tanpa memerlukan izin atau wasiat dari almarhum. Hukum waris ini berlaku otomatis, mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’aala.
Ayat Alquran yang berbicara mengenai waris ada pada surat an-Nisaa` [4]: 11. Sesudah itu turun pula ayat-ayat kewarisan lebih lanjut secara terperinci mengenai pembagian kepada para ahli waris dalam segala kondisinya, seperti kedua orang tua, suami, istri, saudara-saudara sekandung dan saudara-saudara seayah (QS An-Nisaa` [4]: 12 dan 176).
Dengan turunnya ayat waris, maka dapat dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan.
Muhammad Ajib LC.MA dalam bukunya Perbedaan Hibah, Wasiat dan Waris menjelaskan, waris adalah proses pembagian harta yang dilakukan setelah pemiliknya meninggal dunia, di mana hanya ahli waris yang berhak menerimanya. Pembagian harta warisan harus sesuai dengan ketentuan hukum waris yang berlaku, sehingga yang bukan ahli waris tidak dapat mengklaim harta tersebut.
Meski demikian, bukan berarti tertutup kesempatan bagi orang tua yang memiliki anak tiri atau anak angkat yang tidak memiliki hak dari jalur waris untuk tidak memperhatikan mereka. Orang tua bisa memberikan hartanya dengan jalan sebagai berikut:
1. Hibah
Hibah, dalam konteks hukum Islam, didefinisikan sebagai pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain dengan niat sedekah, yang diserahkan kepemilikannya secara langsung saat si pemberi masih hidup.
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy- Syafi’iy:
الهبة وهي في الاصطلاح الشرعي : عقد يفيد تمليك العين بلا عوض حال الحياة تطوعا. الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (115/6)
“Suatu benda dengan tanpa imbalan dan diserahkan semasa masih hidup sebagai bentuk sadaqah tathawwu’.”
Dalam praktiknya, hibah sering kali terjadi dalam konteks keluarga, di mana orang tua membagikan harta kepada anak-anak mereka sebelum meninggal.
Contohnya, jika seorang orang tua menyatakan kepada anak bungsunya, “Nak, ini rumah sekarang menjadi milikmu,” kepemilikan rumah tersebut otomatis berpindah kepada anak tersebut meskipun masih terdaftar atas nama orang tua.
Namun, untuk menghindari sengketa di kemudian hari, disarankan agar orang tua yang ingin menghibahkan harta menghadirkan saksi-saksi dari anak-anak lainnya atau pihak ketiga, serta membuat surat resmi hibah. Langkah-langkah ini penting agar kedudukan hibah memiliki kekuatan hukum yang sah. Dengan pemahaman yang baik mengenai hibah, diharapkan masyarakat dapat melakukan transaksi ini dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hibah merupakan penyerahan harta yang dilakukan sebelum pemiliknya meninggal dunia. Harta yang dihibahkan dapat diterima oleh siapa saja, baik ahli waris maupun bukan ahli waris, tanpa batasan jumlah. Ini memberikan fleksibilitas bagi orang tua untuk mengatur harta mereka sebelum wafat.