REPUBLIKA.CO.ID, Kehidupan Shafiyyah menjadi teladan bagi umat Islam yang menunjukkan kesetiaan, keanggunan, serta rasa peduli terhadap orang lain.
Shafiyyah lahir dari keluarga Yahudi yang berkuasa di Madinah. Ayahnya, Huyayy ibn Akhtab, adalah pemimpin suku Yahudi Bani Nadir.
Meskipun ayah dan pamannya menolak kerasulan Nabi Muhammad SAW, Safiyyah memilih jalan yang berbeda. Pengalaman bertemu Nabi mengubah hidupnya. Dia memeluk Islam dengan tulus.
Setelah peristiwa Khaibar, Shafiyyah menikah dengan Nabi Muhammad SAW. Meskipun awalnya ia menolak untuk bermalam dengan suaminya karena takut akan keselamatannya di sekitar wilayah Yahudi, Safiyyah kemudian menunjukkan rasa sayangnya dengan sepenuh hati setelah merasa aman, dilansir dari laman aboutislam.
Kepedulian dan pengorbanan Shafiyyah tercermin dalam kehidupannya, termasuk ketika Nabi SAW sakit parah. Ia dengan tulus berkata ingin berada di tempat Nabi. Perhatian dan cintanya diakui Rasulullah SAW, meskipun istri-istri lainnya sempat meragukan ketulusannya.
Setelah wafatnya Nabi, Shafiyyah juga menunjukkan keberaniannya. Ketika Khalifah Utsman bin Affan dikepung, ia berusaha membela Utsman meski dihalangi. Ia bahkan membuat jalur rahasia dari rumahnya untuk mengirim perbekalan kepada keluarga Utsman.
Saat difitnah oleh pembantunya, Shafiyyah memilih untuk memaafkan dan membebaskan budaknya. Dia menunjukkan kebesaran hati dan rasa adil yang mendalam. Shafiyyah tetap memelihara hubungan baik dengan keluarga Yahudinya, tetapi menolak ajaran Sabat sejak ia memeluk Islam.
"Shafiyyah binti Huyayy merupakan simbol keikhlasan, keberanian, dan cinta kasih. Hidupnya adalah inspirasi bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan yang penuh pengorbanan dan dedikasi terhadap kebenaran. Kisah Shafiyyah sebagai contoh keanggunan dan pengorbanan tanpa batas."