REPUBLIKA.CO.ID, Membaca alfatihah merupakan salah satu wajib sholat yang mesti dilakukan agar ibadah tersebut sah. Meski demikian, mereka yang memiliki keterbatasan karena mengalami disabilitas atau tunawicara dinilai memiliki hukum khusus terkait pengucapan bacaan tersebut, khususnya saat takbiratul ihram dan membaca Alfatihah.
Sebagian ulama berpendapat, orang bisu tidak diwajibkan menggerakkan lisannya karena ketidakmampuan berbicara. Sedangkan ulama lainnya berpendapat mereka juga diwajibkan menggerakkan lisannya.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Abdul Muiz Ali menjelaskan, siapapun yang tidak dapat berbicara karena bisu, maka gugur baginya kewajiban bacaan. "Ini kesepakatan para ulama fikih. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam masalah menggerakkan lisan saat takbir dan membaca Alfatihah," kata Kiai Muiz kepada Republika, Rabu (25/9/2024).
Dia menuturkan, dalam pandangan ulama, mazhab Maliki dan Hambali dan pendapat yang shahih dalam mazhab Hanafi, tidak diwajibkan bagi orang yang bisu untuk menggerakkan lisannya. Meski demikian, dia cukup melakukan takbirotul ihram dengan hatinya, karena menggerakkan lisan tak ada gunanya dan tidak diajarkan syariat.
"Adapun menurut ulama dalam mazhab Syafii, wajib bagi orang yang bisu untuk menggerakkan lisannya, kedua bibir dan katup nafasnya untuk bertakbir semampunya," jelas dia.
Dikatakan dalam kitab Al-Majmu:
"Demikian pula hukumnya dalam tasyahud, salam dan seluruh zikir dalam shalat. Ibnu Rif’ah berkata, ‘Jika hal itu juga dia tidak mampu, cukup diniatkan dalam hatinya seperti orang sakit. Akan tetapi, yang tampak dalam mazhab Syafii, hal ini berlaku bagi orang yang bisu kemudian. Adapun bisu sejak lahir, maka tidak wajib baginya menggerakkan sesuatupun."
وَمن نَشأ بشاهق جبل وَلم تبلغه دَعْوَة الْإِسْلَام غير مُكَلّف بِشَيْءوَكَذَا من خلق أعمى أَصمّ فَإِنَّهُ غير مُكَلّف بِشَيْء إِذْ لَا طَرِيق لَهُ إِلَى الْعلم بذلك وَلَو كَانَ ناطقا لِأَن النُّطْق بِمُجَرَّدِهِ لَا يكون طَرِيقا لمعْرِفَة الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة
Artunya: “Siapa yang tumbuh dan tinggal di puncak gunung dan orang tersebut tidak tersentuh dakwah Islam (karena tidak terjangkau), maka mereka tidak terkena hukum wajib. Begitu juga orang yang dilahirkanan dalam keadaan tunanetra dan tunarungu, mereka tidak terkena kewajiban karena tidak ada cara untuk menyampaikan dakwah kepadanya walaupun ia bisa berbicara karena mampu berbicara bukanlah cara untuk mengetahui hukum-hukum syara’,” (Nihayatuz Zain fi Irsyadfi Irsyadil Mubtadiin, Beirut, Darul Fikr, halaman 9).
فلا تجب الصلاة على من خلق أصم أعمى ولو ناطقا
"Tidak diwajibkan shalat bagi orang yang dari lahir mengalami tunanetra sekaligus tunarungu walaupun ia bisa berbicara," (Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja, halaman 206)