REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkisah, ada seorang mualaf yang menyampaikan pengalamannya, yakni ketika belum berislam. Dahulu, lelaki yang juga pejabat suatu negeri itu memeluk Nasrani.
Kepada hadirin majelis, ia menuturkan bagaimana mulanya berpindah keyakinan hingga menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Si menteri pun bercerita, dahulu dirinya pernah menumpangi sebuah kapal besar.
Tiba-tiba, di lautan bahtera itu dihantam ombak hingga pecah berkeping-keping. Dengan berpegang pada papan, si menteri pun terapung-apung dan terbawa arus sampai ke sebuah pulau.
Belum pernah ia menjumpai pulau yang seaneh ini. Tanahnya ditutupi daun-daun berukuran besar. Di sana-sini, tumbuh semacam teratai yang berbuah.
Ia bersyukur karena buah itu amat manis rasanya dan berisi air tawar. Dengan itulah, lelaki yang terdampar ini menghilangkan rasa lapar dan dahaga, guna bertahan hidup.
“Menjelang malam, aku mendengar suara panggilan seperti petir menyambar. Suara itu berkata, ‘Tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah,’” katanya kepada hadirin yang menyimak ceritanya.
Suara tersebut juga menyebutkan nama-nama Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—yang belakangan diketahuinya sebagai para sahabat Nabi.
“Mereka adalah sahabat terbaik Muhammad,” ujar si menteri menirukan suara yang didengarkannya di pulau misterius tersebut.
Keesokan paginya, ia dibangunkan oleh sesosok yang janggal. Wajah makhluk itu adalah perempuan yang cantik jelita, tetapi leher dan kakinya menyerupai hewan ternak.
“Wanita” itu lalu bertanya kepadanya, “Apa agamamu?”
“Nasrani,” jawab si lelaki.
“Masuklah Islam. Niscaya engkau akan selamat,” katanya lagi.
Maka, lelaki tersebut menyatakan diri masuk Islam.
“Aku akan menolongmu pulang ke negerimu," kata makhluk misterius ini. "Di dekat pulau ini, sedang melintas sebuah kapal. Akan kubuat mereka mengirimkan bantuan kepadamu.”
Tidak lama berselang, beberapa orang menghampirinya dari arah pantai. Mereka membantunya sampai ke kapal.
“Kemudian aku ceritakan kejadian yang baru saja menimpaku. Mereka semua lantas memeluk Islam,” kata menteri ini menutup ceritanya.
Kisah di atas termuat dalam Al-Nail al-Hatsits fii Hikayat al-Hadits karya Abu Hafsh Umar bin al-Husain al-Naisaburi al-Samarqandi. Ia merupakan seorang ahli hadis yang hidup antara abad kedelapan dan kesembilan Hijriyah.
Dia populer dengan sebutan al-Samarqandi. Sosok ini bukanlah Abu Laits al-Samarqandi (wafat 373 H) yang mengarang Tanbih al-Ghafilin.