Selasa 17 Sep 2024 09:00 WIB

Kisah Takutnya Umar bin Khattab Sebagai Pemimpin kepada Allah SWT

Umar bin Khattab sangat takut kepada Allah.

Umar bin Khattab (ilustrasi). Teladan dari kepemimpinan Umar bin Khattab yang melarang anak-anaknya menjadi kepala negara.
Foto: Republika
Umar bin Khattab (ilustrasi). Teladan dari kepemimpinan Umar bin Khattab yang melarang anak-anaknya menjadi kepala negara.

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Suatu ketika sayyidina Umar RA memegang sebatang ranting kayu dan berkata, "Alangkah bahagianya diriku, seumpama aku menjadi sebatang ranting kayu ini."

Terkadang ia berkata, "Alangkah bahagia diriku, seumpama ibuku tidak melahirkanku."

Baca Juga

Suatu saat, ia sibuk dengan pekerjaannya, seseorang mendatanginya dan berkata, "Si fulan telah menzhalimiku. Engkau hendaknya menegakkan hukum atas dia sebagai balasan." Sayyidina Umar mencambuknya

sekali seraya berkata:

 "Ketika kusediakan waktuku untuk menerima pengaduan, kamu tidak datang. Kini aku sedang sibuk dengan urusan lain,

kamu datang mengadu."

Orang itu pun pergi. Lalu, Sayyidina Umar menyuruh seseorang untuk memanggil kembali orang tersebut. setelah ia datang, sayyidina Umar  memberikan cambuk kepadanya dan berkata, "Balaslah aku!"

Orang itu menjawab, "Aku telah memaafkanmu karena Allah. "

Sayyidina Umar segera pulang ke rumahnya dan mengerjakan sholat dua

rakaat. Lalu, ia berbicara kepada dirinya sendiri, "Hai Umar, dahulu kamu

rendah, sekarang Allah meninggikan derajatmu. Dahulu

kamu sesat, kemudian Allah memberimu hidayah. Dahulu kamu hina, lalu Allah  memuliakanmu, dan Dia telah menjadikanmu sebagai raja bagi manusia. Kini, telah datang seorang laki-laki dan berkata, 'Aku telah dizhalimi, tegakkanlah hukum atas orang yang

menzhalimiku.' Tetapi kamu justru mencambuknya. Kelak pada Hari Kiamat, apa jawabanmu di hadapan Rabbmu?"

Lama sekali Sayyidina Umar mencela dirinya sendiri. (dari Kitab usudul Ghabah)

Kisah lainnya, Hamba sahaya Sayyidina Umar  yang bernama

Sayyidina Aslam  berkata, "Suatu ketika, aku bersama Sayyidina pergi ke Harrah (kawasan yang berbatu-

batu terjal dekat Madinah). Lalu, terlihat nyala api di sebuah padang. Sayyidina  Umar berkata, 'ltu mungkin kafilah yang karena

kemalaman tidak bisa sampai ke kota, mereka terpaksa menunggu di luar kota. Marilah kita melihat keadaan mereka dan mengatur penjagaan untuk mereka malam ini!' Setibanya di sana, tampak seorang wanita bersama beberapa anak kecil yang sedang menangis merengek-rengek. Wanita itu sedang merebus air dalam periuk di atas tungku yang menyala.

Sayyidina Umar Rodhiyallahu 'onhu memberi salam kepada wanita tersebut dan meminta izin untuk mendekat. la bertanya, 'Mengapa anak-anak ini menangis?'Wanita itu menjawab, 'Mereka menangis karena menahan lapar.'

Sayyidina Umar Radhiyaltahu 'anhu bertanya, 'Apa yang sedang engkau masak dalam periuk itu?' la menjawab, 'Periuk ini berisi air, hanya untuk menghibur anak-anak agar mereka tenang dan tertidur.

Aku akan mengadu kepada Allah pada Hari Kiamat, mengapa Amirul Mukminin tidak memperhatikan kesusahanku.' Sayyidina Umar  

menangis dan berkata, 'Semoga Allah merahmatimu, tetapi bagaimana

mungkin Umar mengetahui keadaanmu?' Jawabnya, 'Dia pemimpin kami,

maka seharusnya dia tahu keadaan kami."'

Sayyidina Aslam  melanjutkan ceritanya, "Lalu Sayyidina Umar mengajakku kembali ke Madinah  mengambil sebuah

karung, kemudian mengisinya dengan sedikit gandum, kurma, mentega, dan beberapa helai pakaian, juga beberapa dirham yang diambil dari Baitul Mal.

Setelah karung penuh, ia berkata kepadaku, 'WahaiAslam, letakkan karung ini di pundakku!' Aku menjawab, 'Biarkan aku yang membawanya, ya Amirul Mukminin.'Sahut Sayyidina Umar Radhiyollohu 'anhu, 'Tidak, letakkan saja di pundakku.' Dua tiga kali, aku menawarkan diri dengan sedikit memaksa. la berkata, Apakah kamu akan memikul dosa-dosaku pada Hari Kiamat? Aku sendiri yang akan memikulnya, aku sendirilah yang akan ditanya pada Hari Kiamat.' Aku pun terpaksa meletakkan karung itu di bahunya.

Lalu, dengan tergesa-gesa ia membawa karung itu ke kemah tadi dan aku ikut bersamanya. Setibanya di sana, ia langsung memasukkan tepung dan sedikit mentega ditambah kurma ke dalam periuk, lalu mengaduknya, dan ia sendiri yang menyalakan tungkunya.

Sayyidina Aslam melanjutkan ceritanya, "Kulihat asap mengenai janggutnya yang lebat. la memasak hingga bubur siap dihidangkan.

Lalu, ia sendiri yang menyiapkan makanan itu dengan tangannya yang penuh berkah kepada keluarga itu. Setelah kenyang, anak-anak itu bermain dengan riangnya. Sisa makanan diserahkan kepada mereka untuk hidangan berikutnya. Wanita itu pun sangat senang, ia berkata, 'semoga Allah memberimu balasan yang baik. Engkau lebih berhak menjadi khalifah daripada Umar.'

Untuk menyenangkan hati ibu tadi, Sayyidina Umar Rodhiyallahu 'anhu berkata, 'Jika engkau pergi menemui khalifah, engkau akan menjumpaiku di sana.' Lalu, sayyidina Umar  menjauh sedikit dari tempat

tersebut dan duduk di atas tanah agak lama, kemudian meninggalkan mereka.

 

Sayyidina Umar  berkata kepada Sayyidina Aslam,'Aku tadi duduk di situ, sebagaimana aku telah melihat mereka menangis, aku ingin melihat mereka tertawa."' (dari Kitab Asyharu Masyahirl)

Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitab Fadhilah Amal menjelaskan, inilah perasaan takut seseorang kepada Allah,yang

namanya sangat ditakuti oleh raja-raja besar. Setelah hampir 1.400 tahun berlalu, kebesarannya masih tetap diakui. Adakah hari ini seorang raja, pemimpin, atau pejabat biasa yang bersikap seperti itu kepada rakyatnya?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement