Rabu 11 Sep 2024 14:07 WIB

Mengapa Kiai Imaduddin Tetapkan Nasab Baalawi Terputus sebagai Keturunan Nabi Muhammad?

Selama berabad-abad klan Baalawi diyakini umat sebagai keturunan Nabi Muhammad.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
 Mengapa Kiai Imaduddin Tetapkan Nasab Baalawi Terputus sebagai Keturunan Nabi Muhammad? Foto:  Ulama (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --  Peneliti yang membatalkan nasab Ba'alawi, KH Imaduddin Utsman menyatakan, seluruh metode Isbat tak bisa menetapkan Nasab Ba'alawi sebagai cucu Nabi. Menurut dia, nasab dari kalangan Ba'alawi keberadaannya tidak tercatat selama 500 tahun. 

"Seluruh metode isbat nasab tidak bisa untuk mengisbat (menetapkan) Ba'alawi sebagai cucu nadi. Kita buktikan," ujar Imaduddin dikutip dari video yang diunggah Youtube Gus Fuad Channel, Senin (9/9/2024). 

Baca Juga

Hal ini disampaikan Kiai Imad menanggapi penjelasan Habib Hanif Alatas dalam acara diskusi bertema "Membedah Tulisan yang Membatalkan Nasab Ba'alawi" yang digelar Rabithah Alawiyah di Jakarta, Sabtu (7/9/2024)  

Pertama, Kiai Imaduddin menunjukkan bahwa isbat nasab itu adalah birruq'ah dengan adanya kitab. Sedangkan syarat kitab itu tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya.

"Sedangkan apa yang dikatakan oleh kitab-kitab yang mengisbat Ba'alawi mulai dari abad 9 sampai hari ini, yang katanya itu berjumlah 180 kitab, semuanya itu berbeda dengan kitab-kitab nasab dari mulai abad ke-4 sampai abad ke-9," ucap dia. 

Pada abad ke-10, lanjut dia, baru ada kitab nasab yang menyatakan bahwa Ubaid atau Ubaidillah adalah putra Ahmad bin Isa sebagaimana klaim keluarga habib Ba'alwi. Namun, kata dia, sebelum abad itu tidak ada satu pun selama 550 tahun yang menyatakan bahwa Ubaid ini sebagai anaknya Ahmad. 

"Maka metode kitab nasab tidak bisa untuk mengisbat Ba'alawi sebagai cucu Nabi," kata Imaduddin. 

Kedua, lanjut dia, metode yang disepakati oleh mayoritas ulama untuk menangani masalah nasab adalah syuhroh wal istifadloh. Syuhrah wal Istifadhah berarti ketenaran dan persebaran.

"Apakah nasab mengalami syuhroh dan istifadloh? Tidak. Buktinya, dari mulai abad ke-4 sampai ke-9, sama sekali tidak ada yang menyebutkan. Bagaimana sebuah nasab bisa dikatakan syuhroh wal istifadloh kalau selama 550 tahun sama sekali tidak ada yang menyebutkan?," ucap dia. 

Sedangkan di dalam kaidah ilmu nasab, menurut Imaduddin, Ibnu Hajar dalam kitab Al-Jawabul Jalil halaman 47 menunjukkan bahwa memang benar nasab itu bisa diisbat dengan adanya syuhroh dan istifadloh, tetapi ada syaratnya, yakni kalau tidak ada yang menentang. 

"Sedangkan adanya Ahmad bin Isa punya anak katanya namanya Ubaid ini ada yang menentang yaitu kitab-kitab Nasab dari mulai abad 4 sampai 9 tidak ada yang menyebutkan sama sekali Ahmad bin Isa punya anak namanya Ubaid dan tidak ada yang menyebutkan Ubaid punya ayah namanya Ahmad bin Isa," jelas Imaduddin. 

"Maka syuhroh dan istifadloh tidak bisa untuk mengisbat nasab Ba'alawi, tidak terverifikasi dan tidak bisa untuk dinyatakan sahih dengan metode syuhroh wal istifadloh," kata dia.

Sedangkan metode isbat nasab yang ketiga dengan syahadah, yaitu kesaksian dua orang laki-laki. Di dalam kitab Al-Muqaddimah halaman 62, menurut dia, Syahadah ini bisa untuk mengisbat nasab yang sudah ribuan tahun. 

"Bahwa dikatakan menurut Khalil bin Ibrahim syahadah adalah memang metode untuk mengisbat nasab. Tetapi dia metode mengisbat nasab seorang anak hari ini kepada ayahnya. Bukan nasab qabail yang sudah ribuan tahun seperti Ubaid yang katanya anak Ahmad bin Isa," kata Imaduddin. 

"Bisakah dia untuk diisbat dengan metode syahadah? Tidak bisa. Maka metode ketiga dalam isbat nasab tidak bisa untuk mengisbat Ba'alawi," ujar Imaduddin.

Lalu metode keempat isbat nisab adalah Iqrar. Menurut Imaduddib, Iqrar ini pula dikatakan oleh Syekh Khalil Ibrahim di dalam kitabnya Mukaddimah Fiilmil Ansab bahwa metode ini hanya bisa digunakan untuk mengisbat seorang anak yang ada hari ini kepada ayahnya, yaitu diikrar oleh ayahnya. 

Dari empat metodologi pengisbat nasab ini, tambah dia, satu pun tidak ada yang bisa untuk diterapkan untuk mengisbat Ba'alawi. "Maka nasab Baalawi tidak terisbat shahih. Berarti kalau tidak shahih apa? Batal," kata Imaduddin.

Pendapat Syekh Ali Jumah di Halaman Selanjutnya...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement