Selasa 10 Sep 2024 14:38 WIB

Hikmah Polemik Nasab Baalawi Menurut Ustadz Adi Hidayat

Ustadz Adi Hidayat memberi pandangan soal polemik nasab Baalawi.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Ustaz Adi Hidayat memberi pandangan soal polemik nasab Baalawi.
Foto: dok muhammadiyah
Ustaz Adi Hidayat memberi pandangan soal polemik nasab Baalawi.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dai nasional dari Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengatakan, dalam pandangan Islam, nasab ini merupakan persoalan yang sangat sensitif. Saking sensitifnya, kata UAH, dalqm hadits riwayat Bujhari dan Muslim yang tersambung pada sahabat Abu Dzar al-Ghifari, Nabi memberikan pengingat. 

"Jika nasab yang benar itu kemudian sengaja diputus, maka risikonya adalah kufur," ujar UAH saat menanggapi polemik tentang nasab di Indonesia, seperti dikutip dari kanal Youtubenya, Adi Hidayat official, Selasa (10/9/2024). 

Baca Juga

Dalam hadits tersebut dikatakan, Ma min rajulin idda'a lighairi abihi fahuwa kufrun. Artinya, tidaklah seorang lelaki mengaku menasabkan sesuatu kepada yang bukan dari bapaknya atay jalur nasabnya, maka dihukumi dengan kufur. 

"Jadi kalau ada seseorang yang dengan pandangan tertentu mencoba memutus nasab seseorang yang sudah valid, tercatat, terbukti, dan ternyata nasab itu benar, kemudian mencoba untuk diputus, maka risikonya kufur," ucap UAH. 

Dalam hal yang sama, lanjut dia, ketika ada seseorang menisbatkan yang bukan kepada nasabnya atau mengaku-ngaku bagian dari nasab yang bukan nasabnya, maka tempatnya diri neraka. 

"Oleh karena itu, ini persoalan yang tidak mudah. Jadi jangan ditarik ke kalangan masyarakat awam, selesaikan di ranah ilmiah, ada pengujinya, ada hakimnya, ada bukti-buktinya, ada sistematikanya, sehingga tidak banyak orang terjebak pada satu masalah, yang ini jadi problem kemudian hari saat kembali kepada Allah SWT," kata UAH. 

Dia mempertanyakan, siapa yang akan bertanggung jawab kalau tiba-tiba ada orang mencacimaki nasab tertentu, kemudian tidak seperti kenyataannya, dan dia menghukumi terputus, lalu terkena kemudian dengan ancaman hadis ini. 

"Yang bertanggung jawab siapa? Kan jadi masalah. Jadi nasab itu sangat sensitif. Dinisbatkan kepada yang bukan dari turunannya masalah, mengaku-ngaku bermasalah, berbangga-bangga juga masalah," jelas UAH. 

Lebih lanjut, UAH menjelaskan, dalam hadis riwayat Abdullah bin Abbas r.a dijelaskan bawah ketika seseorang menjelang sholat berbangga-bangga dengan nasabnya, dengan kakeknya. Si fulan yang satu mengatakan bahwa itu adalah kakeknya dan yang satu lagi juga mengatakan bahwa itu adalah kakeknya. 

Maka, Nabi merespon dalam doa i'tidal itu, yaitu:

اَللّٰهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمٰوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ اَللّٰهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

"Jadi tidak ada yang lebih unggul. Kakeknya si fulan atau kakeknya si fulan. Ini memberikan kesan bahwa nasab itu pada akhirnya dihadapan Allah. Keseluruhannya itu akan sirna seluruhnya kecuali amal sholeh kita," jelas UAH. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement