Rabu 11 Sep 2024 10:08 WIB

Iskandariah Sebagai Kota Peradaban Islam

Berabad-abad sebelum kedatangan Islam, Iskandariah merupakan pusat studi alkimia.

Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Iskandariah, Mesir.
Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Iskandariah, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal berdirinya, Iskandariah atau Alexandria dimaksudkan sebagai titik temu kebudayaan-kebudayaan dunia. Pada awalnya, kota di Mesir ini memadukan unsur-unsur Yunani Kuno (Hellenisme) dengan Timur (Semitic).

Setelah bangsa Arab datang, geliat masyarakat setempat sedang dalam titik nadir. Akan tetapi, para dinasti Muslim ikut merawat apa yang tersisa dari peradaban Hellenistik di kota tersebut.

Baca Juga

Sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab hingga pecahnya Perang Salib, dinasti-dinasti Islam mengembangkan kebudayaan yang inklusif di Iskandariah. Josef W Meri dalam ensiklopedia Medieval Islamic Civilization memaparkan beberapa keistimewaan kota ini. Sepanjang abad pertengahan, banyak sarjana dan sufi terkenal yang berasal dari Iskandariah.

Misalnya, pakar hadis Abu Tahir al-Silafi (wafat 1180), salik Ibnu Atha'illah as-Sakandari (wafat 1309), dan al-Busiri sang penulis Kasidah Burdah yang berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW.

Sejak menaklukkan kota ini, para cendekiawan Muslim mulai mengenal cakrawala pengetahuan yang dirintis bangsa Yunani Kuno. Berabad-abad sebelum kedatangan Islam, Iskandariah merupakan pusat studi alkimia (alchemy) yang terkemuka.

Bidang tersebut mulanya bersifat protosains lantaran menggabungkan pelbagai kajian; mulai dari kimia, fisika, astrologi, kedokteran, hingga mistisisme. Ada dua tujuan yang hendak dicapai seorang alkemis klasik.

Pertama, keberadaan eliksir (philosopher’s stone) yang diyakini mampu mengubah zat apa pun menjadi emas. Kedua, komposisi ramuan yang dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit (universal panacea). Meskipun dua hal itu cenderung menjadi mitos, alkimia terbukti merintis cikal-bakal studi kimia modern.

Para ilmuwan Muslim-lah yang mendorong kemajuan alkimia. Salah satunya, yang bahkan disebut sebagai “Bapak Kimia”, adalah Jabir bin Hayyan (wafat 815). Mengutip Husain Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, ilmuwan yang lahir di Khurasan itu merintis dasar-dasar metode riset secara ilmiah dan eksperimental.

Sebelum eranya, para alkemis kuno dari Iskandariah, India, dan Cina umumnya mengandalkan cara-cara spekulatif tanpa pembuktian ilmiah. Sosok yang dikenal Barat sebagai Geber itu justru menegaskan, eksperimen adalah aspek terpenting dari kimia.

Ibnu al-Nadhim, penulis Muslim abad ke-10, melalui karyanya Kitab al-Fihris (‘Katalog’) menyebutkan bahwa peradaban Islam mulai menggeluti studi alkemi sejak abad pertama Hijriah.

Pada waktu itu, Khalid bin Yazid berhasrat menemukan eliksir universal. Bangsawan Umayyah tersebut lantas membentuk suatu tim yang terdiri atas para filsuf dan ilmuwan dari Iskandariah. Mereka bertugas menerjemahkan teks-teks klasik dari Yunani Kuno yang tersedia di Suriah dan pelbagai perpustakaan di wilayah Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement