REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antarah bin Syaddad al-'Absi adalah salah satu sosok dalam folklor Arab. Kisah tentangnya belakangan dibukukan oleh al-Asmai (739-831), seorang pengarang yang hidup pada zaman Sultan Harun al-Rasyid di Kekhalifahan Bani Abbasiyah, Baghdad. Judulnya, Sirat Antar atau ‘Romansa Antar.’
Fokus pengisahan ialah sosok historis Antarah bin Syaddad al-‘Absi. Dia lahir di Qushaiba pada 525 atau sekitar setengah abad sebelum kelahiran Rasulullah SAW. Ayahnya merupakan seorang panglima perang Bani Abs, sedangkan ibunya seorang putri berdarah Habasyah (Ethiopia).
Saat masih gadis, Zabuba—demikian namanya—tertawan oleh pria yang akhirnya menjadi suaminya itu.
Antarah kecil diperlakukan layaknya anak budak. Julukannya, “Gagak Arab”, karena penampakan kulitnya yang gelap. Saat remaja, dia jatuh cinta pada sepupunya sendiri, ‘Ablah, tetapi tidak berani mengungkapkan keinginan untuk menikahinya lantaran malu dengan status sosialnya itu.
Satu-satunya cara agar publik menghormatinya adalah melalui medan pertempuran. Seiring waktu, Antarah terkenal sebagai pria yang tangguh. Kekaguman orang-orang bertambah karena dia pandai menggubah dan mendeklamasi bait-bait syair.
Suatu ketika, Bani Abs akan diserbu kabilah luar. Pada saat yang mencekam itu, ayahnya memanggilnya, “Antarah, bertempurlah bersama para pejuang kita.”
“Seorang budak tidak mau tahu caranya menyerbu atau mempertahankan kabilah. Budak hanya dipakai untuk memerah susu kambing dan melayani tuannya,” timpal Antarah dengan tenang.
“Bertempurlah!" seru pria itu lagi, "Lindungi suku kita, wahai Antar, dan kamu akan mendapatkan kebebasan!”
Syaddad al-‘Absi rupanya paham arah pembicaraan keturunan budak itu.
Setelah berhasil menghalau serangan musuh, Antarah pun dibebaskan dari status budak. Akan tetapi, dia tidak bisa langsung menikahi ‘Ablah.
Bakal calon mertuanya menantangnya untuk memenuhi pelbagai kriteria. Di antaranya, dia harus menawarkan mas kawin berupa unta jenis terbaik dan langka dari Arab Utara. Dengan penuh perjuangan, syarat ini mampu dipenuhinya sehingga dia berhak memperistri sepupunya itu.
Sampai akhir hayatnya, Antarah menjadi pahlawan kharismatik di tengah kabilahnya. Beberapa sejarawan berbeda pendapat tentang penyebab kematiannya—apakah dibunuh atau wafat sewajarnya di hari tua pada usia 83 tahun.
Satu hal yang pasti: legasinya pada bidang kesusastraan terbilang signifikan. Dia termasuk salah seorang dari tujuh penyair al-Mu’allaqat, yang karya-karyanya digantung secara terhormat pada dinding Ka’bah masa pra-Islam.
Para juru dongeng dari zaman Jahiliyah kerap menjadikan Antarah sebagai tokoh cerita. Biasanya, pesan-pesan moral yang dikedepankan adalah keberanian dan heroisme mantan budak itu dalam membela kehormatan kabilah. Memang, tensi sukuisme cukup tinggi sebelum kedatangan Islam di bumi Arab.
Tidak hanya melalui tuturan lisan, kepahlawanan Antarah juga diabadikan lewat ekspresi seni lukis, ukiran, dan kreasi motif-motif permadani.