REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahulu, beberapa hari setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Umar bin Khattab meminta izin bertemu Nabi Muhammad SAW. Dia pun bertanya, “Wahai Rasulullah. Mengapa kita selalu sembunyi-sembunyi dalam menyebarkan agama ini (Islam)? Padahal, kita berada dalam kebenaran, sedangkan orang-orang musyrik itu di atas kesesatan?”
“Wahai Umar, jumlah kita masih sedikit, sedangkan engkau telah melihat apa-apa yang kerap kita alami,” jawab Nabi SAW.
“Demi Zat yang mengutus engkau dengan kebenaran. Aku akan menyiarkan keislamanku di setiap tempat yang dahulu kusiarkan kekafiranku!” tegas Umar. Maka, itulah yang dilakukannya.
Suatu kali, di depan Ka’bah Umar bin Khattab berdiri di atas tumpukan batu dan berteriak lantang: “Aku bersaksi bahwa tiada zat yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!”
Orang-orang musyrikin lantas mengerumuninya. Mereka bertanya, apa benar dirinya telah memeluk Islam. Tidak hanya membenarkan, Umar bahkan mengancam mereka yang hendak menghentikan dakwah Rasulullah SAW. Mereka kaget dan gusar. Umar yang sebelumnya selalu menyertai mereka dalam menindas kaum Muslimin, kini menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Rasa heran seketika berubah murka. Sebab, mereka menyaksikan Umar terus-menerus mengejek kepercayaan pagan. Puluhan hingga seratusan orang itu kemudian mengeroyok sahabat mulia ini.
Namun, Umar tidak lari. Dia justru membalas setiap pukulan dan hantaman dengan segenap daya. Kendati menang jumlah, orang-orang musyrikin ini kerepotan juga menghadapi Umar bin Khattab yang tampil sendirian.
Mereka akhirnya lelah, dan meninggalkan Umar begitu saja. Meski babak-belur dan luka-luka, Umar tetap berdiri tegap, dengan pandangan mata penuh percaya diri. Itulah momentum keberaniannya yang kedua. Sejak saat itu, Rasulullah SAW menjulukinya al-Faruq. Artinya, sang pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
Momentum ketiga terjadi ketika datang perintah hijrah. Rasulullah SAW telah mengimbau kaum Muslimin untuk hijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah). Seluruhnya keluar dari Makkah secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari persekusi orang-orang musyrik.
Hanya Umar bin Khattab yang berhijrah secara terang-terangan.
Bahkan, Umar sengaja berangkat pada siang hari sembari melewati gerombolan tokoh-tokoh Quraisy. Umar berkata, “Aku akan meninggalkan kota ini ke sana (Yastrib). Maka siapa saja yang ingin ibunya kehilangan putranya atau ingin anaknya menjadi yatim, silakan temui aku di belakang lembah ini!” Mendengar kata-kata itu, tidak seorang pun bernyali untuk membuntuti, apalagi menghalang-halangi Umar.