REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Mihjan ats-Tsaqafi masuk Islam sejak peristiwa Pembebasan Makkah (Fath Makkah). Di tengah kaumnya, ia masyhur lantaran keahliannya menunggang kuda sembari mengayunkan pedang atau tombak.
Sayangnya, semua kehebatan itu seolah-olah sirna ketika Abu Mihjan mabuk. Ya, kegemarannya adalah meminum khamar.
Sesudah berislam pun, kebiasaannya tidak ikut surut. Beberapa kali, para sahabat Nabi SAW mendapati Abu Mihjan menenteng botol khamar. Sekalipun benda itu disembunyikannya, bau mulutnya tak mungkin bisa berdusta. Ia pun dihukum atas perbuatannya itu.
Mabuk-mabukan tetap menjadi tabiatnya hingga masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Beberapa kali, sang amirul mukminin menjatuhkan hukuman cambuk kepada Abu Mihjan ats-Tsaqafi karena terbukti menenggak miras.
Umar berpikir untuk mengasingkan Abu Mihjan ke daerah pesisir. Dengan pengawalan ketat, pria dari Thaif itu diarahkan ke tempat pengasingan. Allah menakdirkan, yang bersangkutan dapat kabur.
Dalam keadaan bingung, ia memutuskan untuk lari ke arah Irak, menyusul Muslimin lainnya di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqqash. Mengetahui itu, Umar bersurat ke Sa’ad, memerintahkannya agar memenjarakan sang terdakwa.
Waktu itu, Irak menjadi basis pertahanan pasukan Muslim yang hendak menghadapi Imperium Persia dalam Perang Qadisiyyah. Sa’ad menjadi panglima yang memimpin umat Islam di perang tersebut. Terkait kasus Abu Mihjan, komandan tempur itu mematuhi arahan Khalifah Umar.
Lelaki dari Bani Tsaqif itu ditempatkan di dalam sel. Hatinya sedih. Putus asa membayangi pikirannya.
Padahal, niatnya ke Irak untuk mengikuti pasukan jihad melawan Persia. Dalam penjara, dirinya bersenandung, “Sedih menyelimuti hatiku karena terbelenggu di balik jeruji besi. Bila engkau melepaskan kerangkeng yang membelengguku, niscaya akan kuraih syahid dalam medan perang. Aku dahulu kaya, tetapi kini sebatang kara. Aku dulu berwibawa, tapi kini tubuhku kering dihantam terik matahari. Maka hanya ampunan Allah yang kuharap.”
Syair itu didengar istri Sa'ad ....