Selasa 23 Jul 2024 20:56 WIB

Mengapa Orang Komunis Masih Shalat? Ini Jawaban Buya Hamka

Buya Hamka menilai, mereka itu belum matang disebut sebagai komunis.

ILUSTRASI Seorang berdiri di dekat patung bendera Partai Komunis China di Museum Partai Komunis China.
Foto: AP Photo/Ng Han Guan
ILUSTRASI Seorang berdiri di dekat patung bendera Partai Komunis China di Museum Partai Komunis China.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka merupakan sosok ulama, sastrawan, dan intelektual sekaligus. Pahlawan nasional kelahiran Nagari Sungai Batang, Sumatra Barat, 1908 ini juga dikenang sebagai pribadi yang dekat dengan umat.

Pada masanya, alim Minangkabau tersebut adalah tempat umat Islam bertanya. Buya Hamka pun mengasuh sejumlah rubrik tanya jawab di media massa.

Baca Juga

Sebagai contoh, pada 15 Mei 1963, ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menjawab pertanyaan dari pembaca majalah Gema Islam. Sang penanya mengaku heran dengan mereka yang berpaham komunisme.

Si pembaca menanyakan, apakah benar paham komunisme itu tidak mengakui adanya Tuhan. Namun, yang mengherankannya adalah, masih ada saja orang-orang Indonesia yang mengaku komunis tetapi tetap mengerjakan shalat. Ingat, tahun 1963 adalah masa Orde Lama berkuasa. Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan salah satu parpol terbesar di Tanah Air kala itu.

Mendapat pertanyaan demikian, Buya Hamka menegaskan bahwa komunisme adalah suatu paham yang tidak mengakui adanya tuhan. Lantaran ateis, kaum komunis memandang bahwa tuhan hanyalah ciptaan manusia.

"Dalam term mereka, disebutlah bahwa agama itu hanya suatu lapisan atas saja daripada kehidupan manusia, yang ditentukan oleh lapisan bawah, yaitu sosial-ekonomi. Tegasnya, Tuhan bagi paham komunis adalah suatu yang ditentukan oleh perut belaka," tulis Buya Hamka.

Kemudian, mengenai adanya orang komunis yang masih mengerjakan shalat atau berpuasa Ramadhan. Menurut Buya Hamka, mereka itu adalah komunis yang tidak baik atau belum matang disebut komunis.

Bahkan, tokoh Persyarikatan Muhammadiyah ini menduga, perangai mereka itu hanyalah siasat untuk menarik orang-orang lain agar mengikuti komunisme. Dalam arti, mereka pura-pura shalat supaya publik menganggap bahwa menjadi komunis itu tidak otomatis menjadi ateis.

Menurut Hamka, jika ada orang Muslim tetapi menganut paham komunisme juga, itulah tandanya Islamnya belum matang. Sebaiknya, mereka memilih satu di antara keduanya. "Islam atau komunis; benar-benar Islam atau benar-benar komunis," tulis Buya Hamka.

Ia mengutip pernyataan pemimpin Republik Rakyat China (RRC) yang dengan tegas mengatakan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung, "Kami orang Komunis adalah orang-orang ateis."

Di samping itu, Buya Hamka juga mengajak pembaca untuk melihat praktik-praktik penindasan atas umat agama-agama di negeri-negeri komunis. Diajaknya pula pembaca untuk melihat konstitusi Uni Soviet yang membenarkan adanya propaganda anti-agama. 

sumber : Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta (1983).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement