Selasa 27 Aug 2024 08:39 WIB

Catatan Hamka Soal Hubungan Muawiyah dan Ratu Sima di Jawa

Buya Hamka meyakini, Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan zaman sahabat Nabi.

Buya Hamka
Foto: Dok. Muhammadiyah
Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membicarakan soal sejarah masuknya Islam ke Nusantara, tak bisa dipisahkan dengan sosok nama Prof Dr Hamka. Ulama dan sejarawan yang bernama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan akrab dipanggil Buya Hamka tersebut, termasuk yang meyakini bahwa Islam masuk ke Nusantara pada masa awal-awal perkembangan Islam.

Dalam catatan Hamka di bukunya yang berjudul Sejarah Umat Islam, Hamka menggaris bawahi tentang catatan China yang menyatakan bahwa di Chopo ada sebuah kerajaan berhama Holing. Pada 674-675 M, diangkat seorang ratu kerajaan tersebut bernama Sima yang menjadi pemimpinnya.

Baca Juga

Negeri Holing itu sangat aman dan makmur sejak Ratu Sima memerintah dengan sangat adil dan menjaga keamanan. Kabar negeri itu didengar oleh Raja Ta-Cheh. Lalu, Raja Ta-Cheh itu mengutus orang ke Negeri Sima untuk membuktikan informasi itu.

Oleh utusan tadi, dicecerkan pundi-pundi emas di tanah yang masuk dalam wilayah Kerajaan Sima. Namun, setelah berhari-hari, tidak ada satu pun orang yang mengambilnya.

Akhirnya, setelah tiga tahun pundi-pundi emas itu tergeletak begitu saja di jalanan pusat kota Kerajaan Sima, datanglah putra ratu dan mengambil emas itu. Ratu Sima kemudian murka dan memerintahkan menteri-menterinya menghukum anak itu.

"Mulanya ratu memerintahkan hukuman mati, namun para menteri meminta agar hukuman itu diringankan, akhirnya hanya menjadi hukuman potong kaki putranya tersebut," tulis Buya Hamka.

Terkait dengan penelitian sejarah-sejarah kuno di Nusantara itu, Buya Hamka menyebutkan bahwa dapat disimpulkan bahwa yang dinamai oleh ahli sejarah dalam catatan China itu bahwa Chopo adalah Tanah Jawa, dan Holing adalah Kerajaan Kalingga. Sementara Ratu Sima, adalah Ratu Sima seorang raja perempuan di Kerajaan Kalingga pada masa itu, dan diakui pula dalam sejarah bahwa beberapa kali Kerajaan Kalingga mengirim utusan ke Negeri China.

Adapun Ta-Cheh, adalah nama yang diberikan oleh orang China kepada seorang Arab. Dalam catatan itu disebutkan yaitu Raja Ta-Cheh yang berarti Raja Arab.

"Maka, berkerutlah kening para peneliti di Barat itu mencari siapa agaknya Raja Ta-Cheh itu. Bahkan, ada saja yang mengambil keputusan bahwa catatan China itu adalah dongeng saja. Tetapi belakangan ini sudah timbul dalam kalangan mereka yang meninjau kembali dengan seksama tulisan dalam catatan China itu,"tulis Hamka.

Hamka kemudian melanjutkan, bahwa Raja Besar Arab yang mahsyur pada masa itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia adalah salah satu sahabat Nabi dan peletak dasar kekhalifahan Dinati Bani Umayyah.

"Amat besar kemungkinan tidak ada orang lain tempat memasangkan Raja Ta-Cheh itu melainkan Muawiyah. Besar kemungkinan bahwa penyelidikan ke Tanah Jawa ini amat rapat persangkutannya dengan usaha beliau mendirikan armada Islam. Sebab, beliaulah yang mula-mula mendirikan armada angkatan laut dalam kekhalifahan Islam.

Mungkin sekali bahwa setelah utusan itu atau mata-mata menyelidiki sendiri ke Tanah Jawa dan menguji informasi tentang keteguhan hati Ratu Simo. baginda hendak mengirim utusan memasuki pulau-pulau Melayu (Nusantara)," tulis Hamka.

Sementara, catatan lainnya yang menunjukkan adanya hubungan antara kekhalifahan Dinasti Umayyah dengan Nusantara juga tercatat dalam sejarah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement