REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyebut nama Karbala akan terlintas dalam benak tentang sebuah peristiwa yang sangat menyayat hati dan tragis dalam sejarah kehidupan umat Islam. Betapa tidak, salah seorang cucu Rasulullah SAW, yakni Husain bin Ali bin Abu Thalib, tewas terbunuh di wilayah ini. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan, kepalanya sampai terpisah dari badannya.
Peristiwa itu telah terjadi lebih dari 1.300 tahun silam, tepatnya tanggal 10 Muharram 61 H, atau 680 M. Husain oleh kelompok Syiah dianggap sebagai Imam ketiga. Aliran inimendaku sangat mencintai keluarga Rasulullah SAW. Dari wafatnya Husain inilah, awal mula diselenggarakannya peringatan Hari Asyura (10 Muharram) versi mereka.
Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa an-Nihayah mengungkapkan, selama pemerintahan Mu’izz Al-Daulah dari Dinasti Buwaihiyah yang berhaluan Syiah, peringatan Asyura diselenggarakan di Baghdad (Irak). Pada peringatan itu, semua aktivitas perdagangan dihentikan. Seluruh penduduk berkeliling kota sembari menangis, meratap, dan memukul kepala. Mereka berkeliling dengan menggenakan pakaian hitam. Bahkan, kaum perempuannya diharuskan berpenampilan kusut.
Mengenal Karbala
Karbala adalah sebuah kota yang terletak sekitar 100 kilometer di sebelah barat Kota Baghdad, Irak. Penduduknya kurang lebih 600 ribu jiwa dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Kaum Muslim Syiah menganggap Karbala sebagai salah satu tempat yang suci.
Di pusat kota terdapat Masyhad Al-Husain, makam Husain bin Ali. Muslim Syiah sering mengunjungi tempat ini untuk menziarahinya dan mengenang Pertempuran Asyura. Dalam laman Wikimedia disebutkan, nama kota bersejarah ini berasal dari akar etnis Assyria, Babilonia, atau Persia. Kota ini merupakan makam umat Kristiani diambil alih oleh Islam.
Namun, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, kemungkinan nama Karbala dulunya berasal dari bahasa Aramaik, Karbela. Esposito menambahkan, dalam literatur Syiah, kata karbala berasal dari dua suku kata, yakni karb (duka cita) dan bala’ (bencana), lalu digabungkan menjadi Karb wa bala yang berarti duka cita dan bencana.
Kemasyhuran Karbala di antara kaum Syiah dikarenakan Pertempuran Karbala pada 10 Oktober 680. Bagi mereka, Karbala menduduki posisi penting sejak tahun 63 H/682 M, ketika keluarga Husain memutuskan berziarah ke Masyhad sebelum menuju Madinah.
Pada 685 M, sewaktu Sulaiman bin Syurad pemimpin terkemuka Syiah di Kufah dan pengikutnya mengunjungi Masyhad Al-Husain, mulai saat itulah Karbala semakin ramai. Praktik kunjungan ini menjadi legitimasi atas peringatan Asyura. Mereka menyandarkannya pada tradisi atau keterangan Imam Muhammad al-Baqir dan Ja’far as-Shadiq. Karena itulah, orang-orang Syiah bersedia menempuh perjalanan sulit untuk nenempuh perjalanan menuju Karbala.
Ketika praktik ziarah ke Masyhad Al-Husain ini telah berlangsung selama berabad-abad dan khawatir menjadi praktik merusak akidah umat Islam, pada 850-851 M Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah menghancurkan makam dan melarang kunjungan ke Karbala dengan ancaman hukuman yang berat. Sebab, Dinasti Abbasiyah yang Sunni resah dengan kekeramatan yang semakin meningkat terkait dengan keberadaan makam tersebut.
Esposito menambahkan, selain masalah di atas, muncul pula tradisi mesianik (kebangkitan) mengenai Karbala sebagai batu tonggak revolusi eskatologis Imam Mahdi pada hari akhir. Makam asli dihancurkan pada 850, namun dibangun kembali pada 979 M.
Selanjutnya pada 1086, makam tersebut dibakar sebelum dibangun kembali beberapa waktu kemudian. Penghancuran besar-besaran terjadi pada 1216 H/1801 M. Sejumlah makam yang dianggap keramat yang ada di Karbala dan Najaf diserang dan dihancurkan oleh Wahabi.
Setelah penyerangan itu, syekh asal Karbala mendirikan sebuah negara republik yang berakhir akibat kekuasaan Kesultanan Usmaniyah pada 1843. Peristiwa ini menyebabkan banyak pelajar dan cendekiawan pindah ke Najaf, yang dijadikan sebagai pusat keagamaan Syiah.
Hubungan Karbala dengan tradisi agama kaum Syiah menimbulkan kecurigaan di pihak Pemerintah Irak kaum Sunni. Selama pemerintahan Saddam Hussein, misalnya, perayaan keagamaan Syiah dilarang dan banyak kaum Syiah non-Irak yang tidak diizinkan mengunjungi Karbala.