REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu momen historis yang memilukan dalam sejarah umat Islam adalah Perang Karbala. Pertempuran yang terjadi di Irak itu memperhadapkan antara Husain, putra Ali bin Abi Thalib, di satu pihak dan balatentara Bani Umayyah di pihak lain. Berpusat di Damaskus (Syam), keluarga Mu'awiyah bin Abi Sufyan ingin merebut tampuk kepemimpinan atas daulah Islam dari tangan anak keturunan Ali, yang adalah menantu dan sekaligus sepupu Rasulullah SAW.
Pada tanggal 10 Muharram 61 H atau 680 M, pecahlah Perang Karbala. Dalam palagan ini, Yazid bin Mu'awiyah bertempur melawan Husain bin Ali dan para pendukungnya. Jalannya perang tidak seimbang karena balatentara Umayyah lebih unggul dari segi persenjataan maun jumlah.
Akhirnya, Husain bin Ali gugur, dalam keadaan yang memilukan. Namun, nestapa tak henti di sana.
Sebagai raja kedua Dinasti Umayyah, Yazid mewajibkan seluruh khatib yang naik mimbar di masjid-masjid di wilayah kekuasaannya untuk menutup ceramah mereka dengan kata-kata caci maki. Ujaran tak pantas itu ditujukan pada Ali bin Abi Thalib dan keluarganya. Tiap khatib yang menolak perintah itu akan dihukum. Keadaan teror itu terus berlangsung hingga puluhan tahun lamanya.
Barulah ketika Bani Umayyah dipimpin Umar bin Abdul Aziz, keadaan mereda. Beberapa saat setelah dibaiat, raja yang masih keturunan Umar bin Khattab al-Faruq itu ditanya orang-orang, "Bagaimana pendapat Anda tentang Perang Shiffin dan Perang Karbala?"
“Itu semua adalah pertumpahan darah yang Allah selamatkan darinya. Sungguh, aku benci untuk mengotori lisanku dengan mengomentarinya,” jawab sang khalifah.
Maksudnya, dia tidak mau ikut-ikutan para pendahulunya dalam menaruh dendam terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Umar bin Abdul Aziz kemudian membuat dekrit yang mencabut kebijakan pengekangan terhadap para khatib shalat Jumat.
Dahulu, mereka diharuskan menutup khutbah dengan kata-kata penghinaan terhadap Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Kini, caci maki demikian tidak hanya dihentikan, tetapi juga diganti dengan yang lebih baik.
Umar meminta para khatib untuk menutup khutbah dengan membaca dua firman Allah Ta'ala.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya, Allah menyuruh berbuat adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An Nahl 90).
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan Kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.” (QS Al Hasyr 10).
Tradisi mengakhiri khutbah dengan membacakan kedua ayat itu terus berlangsung, bahkan hingga saat ini. Tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga Indonesia. Demikianlah, Umar tidak mau terbelenggu rantai dendam.
Yang dipilihnya adalah menjaga perdamaian agar menjadi contoh baik bagi generasi-generasi sesudahnya. Pemimpin yang berkarakter zuhud ini wafat pada 5 Februari 720 M dalam usia 37 tahun.