REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Nabi Muhammad SAW, orang-orang musyrik di Makkah sama sekali tidak menoleransi dakwah Islam. Mereka selalu menghalang-halangi Rasulullah SAW dari menyebarkan syiar agama tauhid. Para pemuka Quraisy setempat juga tidak segan-segan menyiksa pemeluk Islam dari kalangan papa dan budak.
Namun, jumlah pengikut agama Islam justru makin bertambah banyak. Nabi SAW juga tidak mundur sedikit pun dari menyampaikan risalah tauhid. Sampai suatu ketika, pemimpin-pemimpin Quraisy merasa pertentangan frontal tidak lagi begitu efektif.
Ajaran tauhid kian diterima berbagai elemen masyarakat Makkah. Maka, bermufakatlah mereka hendak berunding dengan Rasulullah SAW.
Hal itu tergambar dalam konteks turunnya (asbabun nuzul) Alquran surah al-Kafirun, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar. Perwakilan kaum kafir Quraisy mengusulkan kompromi.
“Wahai Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun bersedia pula menyembah apa yang kami sembah. Dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau akan turut serta bersama kami.”
Allah SWT pun menurunkan surah al- Kafirun. Menurut Hamka, wahyu tersebut menegaskan bahwa persoalan akidah tidak dapat ditawar-tawar.
Tauhid dan syirik merupakan dua hal yang berbeda. Tidak ada sinkretisme dalam Islam. Kompromi seperti yang diajukan para pemuka Quraisy bukanlah toleransi, melainkan upaya campur tangan terhadap keyakinan lain atau bahkan hegemoni atas urusan internal kaum minoritas.
Di tengah tekanan masyarakat musyrik Makkah yang intoleran, Rasulullah SAW tetap bertahan. Beliau saat itu belum memegang kendali politik, sehingga serbaterbatas dalam membela para pengikutnya.
Memang, keadaan umat Islam masih lemah. Mereka cenderung tidak berdaya dalam menghadapi kebijakan-kebijakan zalim dari para pemuka Quraisy.
Akhirnya, beberapa sahabat Nabi SAW harus pindah ke Habasyah hanya untuk bisa merasakan kebebasan beragama.
Kondisi umat Islam mulai membaik sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah ke Yastrib (Madinah). Di sana, beliau diangkat menjadi pemimpin negara, di samping keagamaan. Sejak saat itu, Nabi SAW dapat lebih aktif mencontohkan toleransi yang sesungguhnya. Yakni, menghargai kemajemukan dan tidak memaksakan seorang pun untuk memeluk agama Islam. Tiap umat juga bebas menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing.