Rabu 10 Jul 2024 07:03 WIB

Cara Rasulullah Bersabar

Dalam kondisi duka dan lara, Rasulullah SAW tetap bersabar.

Ilustrasi Rasulullah
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak ada satu pun riwayat yang menyebut, Nabi Muhammad SAW saat berjihad melawan musuh-musuhnya mendoakan kehancuran bagi mereka. Iffah daripada lisan Rasulullah SAW berkaitan dengan salah satu akhlak mulia beliau, yakni kesabaran. Hal itu disampaikan Dr Ahmad Muhammad al-Hufy dalam karyanya, Min Akhlaqin Nabi.

Menurut al-Hufy, para ulama berbeda pendapat mengenai definisi sabar. Imam Ghazali, misalnya, menjelaskan hakikat sabar sebagai tahan menderita dari gangguan orang lain, yakni dengan tidak mengeluh. Lawan daripada sabar adalah kegelisahan.

Baca Juga

Kunci kesabaran adalah menahan diri agar tidak menuruti hawa nafsu. Oleh karena itu, sambung al-Hufy, dapat dikatakan bahwa semua akhlak terpuji tergolong kategori sabar.

Dalam sebuah riwayat, Nabi SAW pernah ditanya tentang iman. Beliau pun bersabda, "Iman itu adalah sabar." Sebagian besar amal tergantung kepada sabar dan sabar itulah yang terpenting.

Salah satu momentum, yang darinya kita dapat belajar hakikat kesabaran, adalah peristiwa wafatnya putra kesayangan Rasulullah SAW, Ibrahim. Bayi itu hanya berumur belasan bulan dan wafat lantaran sakit.

Saat Ibrahim dalam keadaan sakaratul maut, Nabi SAW bersandar pada sahabatnya, Abdurrahman bin Auf. Betapa ketika itu beliau amat berduka.

Hati siapa yang tidak bersedih dengan kepergian anak yang kehadirannya telah lama diidam-idamkan? Orang tua mana yang tidak perih perasaannya mengangkat jasad anaknya yang terbujur kaku? Itulah yang telah terjadi pada diri Nabi SAW.

Cobaan kian berat karena kaum kafir Quraisy justru mencemooh beliau, alih-alih ikut merasakan duka. Bahkan, beberapa di antara mereka dengan keji berkata bahwa meninggalnya Ibrahim menandakan terputusnya keturunan Rasulullah SAW. Ujaran ini kemudian dibantah Allah SWT melalui Alquran surah al-Kautsar ayat 3.

Menghadapi ujian yakni wafatnya sang putra tercinta, Nabi Muhammad SAW tetap mampu menjaga dirinya dari mengucapkan perkataan dan melakukan perbuatan tercela. Beliau semata-mata bersabar dan menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT.

Saat itu, usianya mencapai 60 tahun. Di dekat pusara Ibrahim, beliau berkata pada gunung yang menjadi tempat terakhir putranya disemayamkan, "Wahai gunung, bila engkau merasakan apa yang kurasakan, pastilah engkau hancur. Tapi, kita adalah kepunyaan Allah dan kepadanya kita akan kembali."

Kepada Ibn Auf, beliau mengatakan, "Sesungguhnya mata memang mencucurkan air mata dan hati sangat sedih, namun kita tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement