Senin 08 Jul 2024 11:40 WIB

Begini Tata Cara Nikah Mut'ah yang Bikin Ulama Keluarkan Fatwa Haram

Tidak ada batas tertentu jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut'ah.

Kawin kontrak (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Umat Islam di Tanah Air yang mayoritas merupakan Muslim Sunni menentang praktik pernikahan mut'ah. Dalam buku berjudul "Mistik, Seks, dan Ibadah", cendekiawan yang juga pakar tafsir Alquran Prof Quraish Shihab menjelaskan, bahwa mut'ah dalam pengertian bahasa adalah kenikmatan, kesenangan dan kelezatan. Sementara nikah mut'ah didefinisikan sebagai pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu, hari atau bulan yang disepakati calon suami istri. Jika batas waktu itu berakhir, maka secara otomatis perceraian terjadi.

Nikah mut'ah merupakan amalan kontroversial yang masih dianut oleh kaum syiah. Masalah ini menjadi titik rawan antara dua kelompok besar, yakni Sunni dan Syiah. Di satu sisi, kaum syiah menghalalkan dengan mutlak. Di lain sisi kaum Sunni mengharamkannya juga dengan mutlak.

Baca Juga

Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bagir, mut'ah disebut juga nikah sementara waktu atau nikah terputus. Secara bahasa, kata ini berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan. Pelakunya mendapat kemanfaatan dengannya serta menikmati sampai batas waktu yang ditentukan.

Ayat Alquran yang kerap dijadikan dalil oleh komunitas syiah, nikah mut'ah halal adalah "... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafal istamta'tum bihi minhunna), berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban." (QS An Nisa:24).

Dalam bacaan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Ka'b bin Ubay dan Said bin Jubair, kalimat tersebut mendapatkan penambahan makna. "...Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (dengan tambahan kalimat: sampai batas waktu tertentu)."

Mazhab Ja'fari, salah satu mazhab yang dianut kaum syiah mengurai bahwa ada beberapa persyaratan untuk nikah mut'ah. Syarat-syarat tersebut, yakni mengucapkan ijab kabul dengan lafal nikah, kawin, atau mut'ah dengan seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan sambil menetapkan mahar tertentu dan berlakunya selama waktu tertentu yang disetujui bersama. Misalnya satu hari, satu pekan, satu bulan, dan sebagainya.

Perempuan yang dinikahi mut'ah tersebut juga harus dalam keadaan bebas dari hambatan apa pun yang membuatnya haram dinikahi. Hambatan itu menisbatkan pada dalil dalam Alquran, yakni hambatan nasab, periparan, persusuan, dan sebagainya. Kondisi lainnya, saat dia dalam keadaan iddah atau berada dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain.

Ikatan pernikahan itu akan berakhir seiring dengan habisnya waktu yang masih tersisa. Ikatan nikah berakhir dengan sendirinya tanpa memerlukan talak. Hanya, bila dikehendaki, ikatan tersebut boleh diperpanjang lagi sampai waktu yang ditentukan. Dengan catatan, si suami memperbaharui akad dan mahar.

Catatan lainnya, tidak ada batas tertentu jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut'ah. Meski, ada ulama syiah yang membatasi hingga empat orang saja. Saksi pun tidak diperlukan dalam nikah mut'ah.

Dalam sejarahnya, nikah mut'ah pernah diperbolehkan pada masa awal Islam karena situasi darurat.  DR. Ahmad Nahrawi Abdus Salam dalam buku berjudul "Ensiklopedia Imam Syafi'i" menyebutkan, bahwa nikah mu'tah kemudian dilarang dan larangan itu sudah menjadi ijma' ulama.

Pernah diperbolehkan namun kemudian dilarang.. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement