REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menerima kunjungan Duta Besar (Dubes) Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, di Yogyakarta, Rabu (26/6/2024). Ini merupakan lawatan pertama Yasushi ke luar Jakarta sejak dirinya menjabat sebagai duta besar.
Ia mengatakan, silaturahim ini sebagai upaya meningkatkan kerja sama antara Pemerintah Jepang dan Indonesia, termasuk Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modernis terbesar di Tanah Air. Menurut Yasushi, hubungan yang terjalin selama ini sudah berlangsung dengan sangat baik. Sebagai contoh, kunjungan Pemuda Muhammadiyah ke Jepang baru-baru ini untuk mempelajari budaya dan perkembangan negara Asia timur tersebut.
“Kami berharap, ke depan ada peningkatan kerja sama dalam bidang pendidikan, antara Pemerintah Jepang dan Muhammadiyah,” ujar Masaki Yasushi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (26/6/2024).
Dalam pertemuan tersebut pihaknya mengungkapkan keprihatinan Pemerintah Jepang terhadap kondisi yang terjadi di Palestina dan Timur Tengah pada umumnya. Ia pun meminta masukan kepada Muhammadiyah terkait perspektif dalam melihat perkembangan Islam, baik secara global maupun konteks Indonesia.
“Lewat kunjungan ini, kami ingin belajar bagaimana moderasi Islam dalam menghadapai kecenderungan radikal dan ekstremisme dalam beragama. Sebab, sebagian masyarakat Jepang masih bertanda tanya tentang kedua soal tersebut," ucap dia.
Merespons itu, Haedar Nashir menjelaskan, kecenderungan sebagian kecil Muslimin yang ekstrem dan terlibat terorisme memang diakui masih ada. Sejatinya, bentuk ekstremisme dan radikalisme tidak hanya dalam hal beragama, tetapi juga berbagai aspek kehidupan.
“Ekstremisme beragama dan juga bentuk-bentuk ekstrem lainnya sering dipicu oleh konstelasi politik global yang tidak positif. Salah satunya disebabkan oleh agresi dan kebrutalan Israel yang terus-menerus terjadi di Palestina, sehingga memicu pandangan yang bersifat reaktif," ujar Haedar.
Sebagian orang beranggapan, masalah Israel-Palestina berkaitan dengan agama. Padahal, soal ini lebih pada kemerdekaan sebuah negara-bangsa yang masih dijajah entitas zionis.
Di samping itu, yang juga sering terjadi adalah fenomena Islamofobia yang berlebihan terjadi di dunia Barat. Sebagai contoh, tindakan senator atau tokoh yang membakar kitab suci Alquran. Ini pun menimbulkan reaksi keras.
“Reaksi keras itu bukan ekstremisme, tetapi bentuk sikap untuk menjaga agama, dan keberagamaan dalam ekstrem. Di sinilah persoalan ekstremisme, radikalisme, atau terorisme bukan persoalan yang sederhana,” kata guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menegaskan.
Haedar menegaskan, secara umum Muslimin di Indonesia sejatinya menampilkan Islam yang moderat. Muhammadiyah pun terus berupaya meningkatkan moderasi beragama pada hal-hal yang substantif.
Lebih lanjut, Haedar meminta kepada Dubes Jepang untuk lebih memahami Islam di Indonesia dengan mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tersebar di pelbagai daerah, termasuk kawasan Indonesia timur. Dengan demikian, dapatlah dilihat bagaimana Persyarikatan menjadi role-model dalam moderasi beragama dan juga dalam membangun masyarakat dalam kemajemukan.