Selasa 25 Jun 2024 04:18 WIB

Bukan Soal Baru: Marginalisasi Islam di Tajikistan

Islam di Tajikistan mengalami pasang-surut.

ILUSTRASI Marginalisasi Islam di Tajikistan bukan hal baru. Foto - Seorang wanita di depan benteng kota tua Hissor, Tajikistan.
Foto: ANTARA FOTO
ILUSTRASI Marginalisasi Islam di Tajikistan bukan hal baru. Foto - Seorang wanita di depan benteng kota tua Hissor, Tajikistan.

Baru-baru ini, Tajikistan mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang hijab, sebuah busana yang menutup aurat seorang Muslimah. Pengesahan beleid ini agak mengherankan. Sebab, mayoritas penduduk negara Asia tengah itu adalah umat Islam.

Dalam teks kebijakan tersebut, kain khas Muslimah itu bahkan diistilahkan sebagai "pakaian asing." Lebih lanjut, aturan ini juga ikut melarang “idieh”, yakni kebiasaan bahwa anak-anak diberi uang pada saat maupun menjelang dua hari raya Islam yang paling penting—Idul Fitri dan Idul Adha.

Baca Juga

Siapapun warga Tajikistan yang melanggarnya dapat dikenakan denda, mulai dari 7.920 somoni (sekitar Rp 12 juta) untuk pelanggar individu hingga 39.500 somoni (Rp 61 juta). Demikian dilansir Layanan Tajik Radio Liberty.

"Terkekangnya" praktik-praktik keislaman di ranah publik bukanlah perkara baru di Tajikistan. Harian Republika dalam edisi 27 Agustus 2004 pernah mengulas kuatnya sekularisme di sana. Berikut petikan laporan tersebut.

Sama-sama sebagai umat mayoritas, namun 'nasib' Muslimah di Tajikistan berbeda dengan kita. Jika Muslimah Indonesia sudah bebas memasuki ranah publik dengan busana Muslimnya, tidak demikian di negeri ini.

Muslimah memang diperkenankan mengenakan jilbab. Namun, jangan harap dalam dokumen resmi, foto diri dengan jilbab diperkenankan. Hingga kini, mereka masih berjuang agar pemerintah melegalkan foto berjilbab dalam identitas resmi mereka.

"Kita masih berupaya meyakinkan mereka bahwa pelarangan foto berjilbab sama dengan mengabaian hak azasinya," ujar Abdusator Boboyev di Distrik Isfara. Ia merupakan pimpinan Islamic Revival Party, partai Islam terbesar di Tajikistan.

Lebih mencengangkan lagi, sekitar 90 persen kaum wanita, khususnya Muslimah, tidak mempunyai dokumen identitas, bahkan kartu tanda penduduk Tajikistan sekalipun. Sebab, para Muslimah ini menolak untuk difoto dengan melepas jilbabnya.

Kalau pun ada identitas, bentuknya adalah paspor perjalanan luar negeri. Sebab, untuk paspor ini ada pengecualian, yakni mereka boleh tetap berjilbab.

Isfara adalah distrik dengan jumlah penganut Muslim terbanyak. Hampir seluruh Muslimah di wilayah ini mengenakan jilbab.

"Inilah ironisnya. Di Rusia yang Muslimnya hanya 20 persen dari populasi, kaum Muslimah bebas berfoto untuk dokumen resmi dengan tetap berjilbab. Sementara di sini, di mana Islam adalah 99 persen, kondisinya malah sebaliknya," tambah Boboyev lagi.

Dalam hal ibadah, Muslimah juga mengalami pembatasan. Komite Ilmuwan Islamic Center di Tajikistan baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang melarang Muslimah yang ada di negara tersebut datang ke masjid-masjid untuk beribadah atau mengikuti pelajaran agama.

Kebijakan ini kontan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat dan juga para tokoh agama. Ketua Komite, Khudayberdi Egamberdiev, mengatakan bahwa akan lebih baik bagi para Muslimah untuk melaksanakan shalat lima waktu di rumah daripada di masjid. Alasan pihaknya mengeluarkan kebijakan itu, lanjut dia, lantaran adanya kekhawatiran apabila kaum perempuan hadir di masjid, akan menimbulkan simpang siur dengan jamaah pria. Sebab, sebagian besar masjid di negara Asia Tengah tersebut tidak memiliki area khusus untuk wudhu dan shalat bagi jamaah perempuan.

Saidumar Mohammad Nazar, anggota senior dari Islamic Revival Party, menyatakan keputusan tadi sangat tidak adil dan bertentangan dengan syariat Islam. "Ini juga tidak selaras dengan undang-undang negara yang melindungi kebebasan menjalankan agama bagi setiap warga negara," tegasnya lagi.

Menurutnya, Muslimah berdasarkan syariat Islam diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah di masjid. Sepengetahuannya, agama Islam, pada kenyataannya, tidak melarang bagi para Muslimah untuk mengerjakan shalat di masjid bersama-sama dengan kaum pria.

"Bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW, Muslimah selalu turut hadir di masjid dan melaksanakan shalat lima waktu berjamaah," imbuh dia.

Setiap saat, para Muslimah juga hadir dalam majelis Rasulullah SAW yang dilangsungkan di kediaman istri beliau. Pada kesempatan tersebut, mereka bahkan dapat bertanya langsung kepada beliau berkaitan dengan masalah-masalah seputar kehidupan rumah tangga dan sosial. ''Jadi, larangan itu sebetulnya merupakan kemunduran,'' tambahnya.

 

Murtad demi setengah karung gandum?

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement