REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Tajikistan resmi melarang penggunaan hijab untuk Muslimah pada 19 Juni 2024 lalu. Hal ini seiring dengan disahkannya undang-undang baru yang mengatur pakaian Islami dan perayaan Idul Fitri oleh parlemen negara tersebut.
RUU yang disetujui oleh majelis tinggi parlemen itu, Majlisi Milli, pada 19 Juni, muncul setelah bertahun-tahun diberlakukannya tindakan keras tidak resmi terhadap hijab di negara mayoritas Muslim tersebut.
Berikut ini sejumlah fakta seputar pelarangan hijab yang diberlakukan Tajikistan sebagaimana dihimpun Republika.co.id:
Pertama, tindakan keras pemerintah terhadap hijab dimulai pada 2007, meluas ke semua institusi publik dan menyebabkan penggerebekan pasar dan denda di jalan. Pada 2015 misalnya, Polisi mengatakan bahwa selama setahun terakhir, mereka telah menutup sekitar 160 toko yang menjual jilbab, dan meyakinkan 1.773 wanita untuk berhenti mengenakan jilbab.
Kedua, pada 2018, pemerintah juga mengeluarkan buku panduan setebal 376 halaman, berjudul 'Buku Panduan Pakaian yang Disarankan di Tajikistan', yang menguraikan apa yang harus dikenakan perempuan di negara itu untuk berbagai kesempatan.
Daftar tersebut menguraikan bahan, panjang dan bentuk pakaian yang dapat diterima. Buku ini juga melarang pakaian hitam di pemakaman; sebagai gantinya, buku ini merekomendasikan pakaian biru dengan jilbab putih untuk acara-acara seperti itu.
Ketiga, jilbab disebut busana asing. Presiden Emomali Rakhmon juga memperingatkan orang-orang Tajik: "Jangan menyembah nilai-nilai asing, jangan mengikuti budaya asing. Kenakan pakaian dengan warna dan potongan tradisional, bukan hitam." "Bahkan saat berkabung, wanita Tajik harus mengenakan pakaian putih, bukan hitam," katanya.
Keempat, berdasarkan undang-undang baru, individu yang mengenakan jilbab atau pakaian keagamaan terlarang lainnya dapat dikenakan denda yang besar hingga 7.920 somoni (sekitar 700 dolar AS). Perusahaan yang mengizinkan karyawannya mengenakan pakaian terlarang berisiko dikenakan denda sebesar 39.500 somoni (3.500 dolar AS).
Pejabat pemerintah dan pemimpin agama akan menghadapi denda yang lebih besar yaitu 54 ribu-57.600 somoni (4.800 dolar AS sampai 5.100 dolar AS) jika ditemukan melakukan pelanggaran.
Kelima, pelarangan hijab ini merupakan bagian dari serangkaian 35 tindakan yang berkaitan dengan agama, dalam sebuah langkah yang digambarkan oleh pemerintah sebagai "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul dan ekstremisme".
Keenam, setelah pertama kali melarang jilbab di lembaga-lembaga publik, termasuk universitas dan gedung-gedung pemerintah, pada tahun 2009, rezim di Dushanbe mendorong sejumlah aturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga menggunakan pengaruh mereka, namun juga memperkuat kontrol mereka terhadap negara tersebut.
Ketujuh, sebelum larangan tersebut, pemerintah telah bekerja keras untuk mempromosikan budaya dan cara berpakaian Tajik. Pada September 2017, pemerintah mengaktifkan pesan kepada pengguna ponsel, mendesak mereka untuk mengenakan pakaian nasional Tajik. Pesan-pesan itu berbunyi: "Mengenakan pakaian nasional adalah suatu keharusan!", "Hormati pakaian nasional," dan "Mari kita jadikan ini sebagai tradisi yang baik untuk mengenakan pakaian nasional."
Kedelapan, meskipun larangan hijab sekarang resmi, Tajikistan telah melihat beberapa pembatasan yang disahkan dalam hal berpakaian dan penampilan. Pada 2007, kementerian pendidikan Tajikistan melarang pakaian Islami dan rok mini gaya Barat bagi para siswa. Larangan tersebut akhirnya diperluas ke semua institusi publik.
Kesembilan, Presiden Rahmon memulai perang salibnya terhadap jilbab pada 2015, ketika ia menyebutnya sebagai "tanda pendidikan yang buruk."