Selasa 11 Jun 2024 17:44 WIB

Skema Murur dan Kebaikan untuk Jamaah Haji

Murur merupakan salah satu solusi untuk jamaah haji yang memiliki keterbatasan fisik.

Skema Murur untuk Kebaikan Jamaah Haji. Foto: Pekerja menyelesaikan persiapan untuk puncak ibadah haji di Arafah, Arab Saudi.
Foto:

Sikap Muhammadiyah dan NU

Kebijakan murur di Muzdalifah menjadi pembahasan di kalangan para ulama yang tergabung dalam ormas Islam. Salah satu ormas besar di Indonesia, Persyarikatan Muhammadiyah juga mengeluarkan fatwa terkait masalah murur ini.  

Dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, sebanyak 25 persen jamaah haji atau sekitar 55 ribu jamaah akan mengikuti murur, khususnya jamaah yang risti, lansia, disabiltas, serta para pendamping lansia.

Menyikapi hal ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar sidang fatwa di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan KH Ahmad Dahlan pada Jumat (7/6/2024). Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ruslan Fariadi.

Kepadatan jamaah yang dibarengi dengan sempitnya ruang gerak di Armuzna meningkatkan potensi masalah kesehatan bagi jamaah lansia, rentan sakit, dan difabel. Dalam sidang ini, salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah skema murur di Muzdalifah.

Seperti dilansir laman resmi Muhammadiyah, Sabtu (8/6/2024), skema ini dirancang untuk meminimalisir potensi risiko bagi jamaah yang rentan. Setelah wukuf di Arafah, jamaah akan melakukan murur di Muzdalifah dengan cara melintasi lokasi tersebut tanpa turun dari bus. Mereka tetap berada di dalam bus selama perjalanan ke Muzdalifah, dan kemudian bus akan membawa mereka langsung ke Mina.

Rincian skema ini adalah jamaah haji yang melintasi Muzdalifah setelah tengah malam, meskipun hanya sebentar, telah memenuhi kriteria dan syarat mabit, sehingga mabitnya sah dan tidak terkena dam isa’ah. Pandangan ini didasarkan pada prinsip taysir atau kemudahan.

Dalam kaidah hukum dikatakan: “Jika sesuatu itu dirasakan sulit maka beralih kepada yang mudah.”

 

Jika terjadi udzur syar’i, seperti kemacetan atau kondisi darurat yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan mabit, maka murur menjadi rukhshah (keringanan) tanpa membedakan waktu awal atau tengah malam, dan jamaah tidak terkena dam isa’ah. Hal ini berdasarkan kaidah:

“Apabila hukum asal sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada pengganti.” Diperkuat pula dengan kaidah kedaruratan: “Keadaan yang perlu penanganan khusus sama dengan kedaruratan.”

Sedangkan PBNU memutuskan bahwa pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur dapat menjadi solusi fiqih atas kepadatan jamaah di area mabit.

Dalam putusannya, PBNU menyatakan, “Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika dilakukan setelah melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah karena memenuhi syarat wajib mabit di Muzdalifah,” demikian tertulis dalam putusan PBNU yang ditetapkan di Jakarta pada Selasa, 19 Dzulqa'dah 1445 H/28 Mei 2024 M.

Menurut PBNU, mabit di Muzdalifah dengan murur di atas tengah malam sudah cukup secara syariat. Jamaah haji yang melakukan murur tidak terkena kewajiban dam dalam pandangan ulama yang mensyaratkan pelaksanaan mabit di Muzdalifah di atas tengah malam 10 Dzulhijjah Waktu Arab Saudi.

Selain itu, PBNU juga menyebutkan bahwa pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan murur sebelum tengah malam juga sah secara syariat dengan mengikuti pandangan sebagian ulama yang menganggap mabit di Muzdalifah sebagai sunnah haji. Oleh karena itu, jamaah haji yang melakukan murur sebelum tengah malam tidak terkena kewajiban dam karena tidak melanggar wajib haji. “Jika mabit di Muzdalifah secara murur tersebut belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah,” tulis putusan Syuriyah PBNU.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement