Senin 22 Apr 2024 17:42 WIB

Dai Muhammadiyah: Tradisi Grebeg Syawal Wujud Syukur dan Perkuat Persaudaraan

Tradisi grebeg tersebut perlu dilihat dari sisi filosofinya.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Grebeg Kupat Tumpeng Syawalan yang digelar di Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (17/4/2024).
Foto: Setda Kota Batu
Grebeg Kupat Tumpeng Syawalan yang digelar di Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (17/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dai Muhammadiyah Ustadz Muhammad Ziyad menjelaskan ihwal tradisi syawalan atau yang juga disebut grebeg syawal. Dia mengatakan, tradisi tersebut perlu dilihat dari sisi filosofinya.

"Terkait grebeg syawalan, maka kita harus tahu filosofi apa ketika grebeg itu dilaksanakan. Grebeg syawalan ini kan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT setelah dapat menunaikan puasa Ramadhan satu bulan, dan ditambahkan puasa 6 hari di bulan Syawal," jelasnya kepada Republika.co.id, Senin (22/4/2024).

Baca Juga

Karena itu, dia mengatakan, tradisi grebeg Syawal ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur dengan beragam macam tradisi yang dilakukan. Ia juga menyampaikan, grebegan juga sebagai media untuk silaturahmi sesama warga dan membangun ukhuwah persaudaraan di antara mereka.

"Maka jangan sampai filosofi yang mulia ini kemudian ada nuansa kesyirikannya. Misalnya dengan upacara sesaji dan semacamnya. Ini yang mesti kita ingatkan dalam konteks tujuan tadi," kata dia.

Ustadz Ziyad menuturkan, tradisi grebeg syawalan di berbagai daerah ini berbeda-beda. Ada yang kemudian mengumpulkan aneka makanan, lalu dinikmati bersama sebagai bagian penguatan persaudaraan. Ini menurutnya adalah hal yang baik.

"Ada juga yang ziarah ke makam leluhur. Maka dalam konteks ini juga harus disampaikan bahwa ziarah ke makam leluhur adalah untuk mengingat kematian atau mau'izhoh bil mawti. Sehingga orang yang masih hidup itu melakukan kebaikan dan kemudian spiritnya adalah meneruskan perjuangan para tokoh-tokoh kita yang telah berjuang," terangnya.

Di daerah lain juga misalnya, terang Ustadz Ziyad, ada yang melakukan tradisi ini dengan mengumpulkan aneka makanan lalu memberikannya kepada sesama. "Tentu ini konteksnya adalah memberikan makan, bukan dalam rangka supaya 'penjaga' di sini tidak mengamuk. Hal semacam ini harus dihindarkan," tuturnya.

Dengan demikian, menurut Ustadz Ziyad, tradisi grebegan syawalan harus dimaknai sesuai filosofi yang terkandung di dalamnya. Karena dalam tradisi ini, banyak orang yang bisa saling silaturahmi dan saling memaafkan, sehingga memperkuat ukhuwah di antara mereka.

"Sesuai namanya yaitu syawal, yang artinya bulan peningkatan, setelah silaturahminya diperkuat maka terjadilah peningakatan kohesi sosial. Solidaritas sosialnya menguat. Setelah itu tumbuh benih-benih kasih sayang, persaudaraan, semangat kebangsaan," ujarnya.

"Saya kira hal ini bagian dari khazanah kekuatan tradisi keagamaan yang kaya raya di Indonesia. Ini harus disyukuri dengan tetap menjaga nilai-nilainya supaya tidak melanggar ketentuan agama," paparnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement