Kamis 11 Apr 2024 09:05 WIB

2 Perkara yang Karenanya Boleh Marah Menurut Buya Hamka dan Potret Umat Islam Saat Ini

Buya Hamka mengkritik tajam kondisi umat Islam saat ini

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
ilustrasi umat Islam. Buya Hamka mengkritik tajam kondisi umat Islam saat ini
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Mengutip Nurcholis Madjid dalam buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, sosok autodidak tersebut berhasil mengubah citra kumal kiai atau ulama Indonesia menjadi sosok yang patut mendapatkan respek dari lintas kalangan, baik itu Muslim maupun non-Muslim. Buya Hamka memang menyukai cara pikir berkemajuan. Ia enggan membatasi sumber-sumber ilham pengetahuan.

Baginya, umat Islam tidak boleh tersisih dari kemajuan zaman. Alquran pun telah menegaskan, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila kaum itu berinisiatif.

Baca Juga

Karena itu, ia percaya bahwa agama Islam harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sebab itulah bekal utama untuk memajukan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya. Buya Hamka menulis dalam Tasawuf Modern/ bahwa seorang Muslim hendaknya memiliki keutamaan-ruhani, yakni terdiri atas empat hal: syaja'ah, 'iffah, hikmah, dan 'adala (adil).

Syaja'ah berkaitan dengan keberanian yang dapat diibaratkan terjadi dalam skala. Titik didihnya bernama tahawwur, yakni nekat. Adapun titik bekunya adalah jubn atau sikap pengecut.

Skala normalnya berada di syaja'ah, yakni berani karena benar, takut karena salah. Kemudian,'iffah yakni kemampuan menjaga kehormatan batin. Ini juga memiliki dua titik ekstrem, yakni bersikap heboh dan masa bodoh. Kemampuan 'iffah dapat dilihat dari bagaimana seseorang mengelola emosinya.

Menurut Buya Hamka, ada dua perkara yang di dalamnya orang Islam boleh marah, yakni ketika mempertahankan kehormatan dan agama. Nama lain untuk itu adalah ghirah lissyaraf atau cemburu menjaga kehormatan. Buya Hamka menulis, Ucapkanlah 'selamat jalan' kepada bangsa yang tidak ada syaraf atau kehormatan dirinya lagi.

Adapun hikmah berarti bijaksana. Di dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan sosok Luqman sebagai ahli hikmah. Menurut Buya Hamka, seorang yang bijak dikendalikan oleh akal budinya. Selanjutnya, adil yang merupakan perangai mulia dari akal budi.

Dalam uraiannya, Buya Hamka tidak dengan gamblang mendefinisikan arti 'adala. Namun, ia menyebutkan bahwa adil dalam pergaulan adalah menghindarkan lengah dan lalai. Adil dalam politik adalah menenggelamkan kepentingan diri sendiri ke dalam kepentingan bersama.

Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara membangkitkan kemajuan umat Islam, baik itu melalui politik, pendidikan, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Seorang Muslim tidak perlu ragu untuk mencapai kemajuan selama tetap berpegang pada ajaran Islam.

Buya Hamka sendiri merupakan tokoh multidimensi. Ia sempat terjun ke ranah politik. Sebagai hasil dari Pemilihan Umum 1955, Buya Hamka yang juga anggota Partai Masyumi kemudian duduk di DPR.

Buya Hamka juga sempat terlibat dalam perumusan dasar negara di Konstituante. Ia menjabat sebagai ketua umum MUI yang pertama pada masa Orde Baru. Namun, jabatan itu pun pada akhirnya dilepaskannya. Sebab, Buya Hamka lebih mengutamakan kepentingan umat Islam. Dia merasa keadilan harus dipentingkan daripada tarik-menarik pada soal kekuasaan.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement