Kamis 11 Apr 2024 09:05 WIB

2 Perkara yang Karenanya Boleh Marah Menurut Buya Hamka dan Potret Umat Islam Saat Ini

Buya Hamka mengkritik tajam kondisi umat Islam saat ini

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
ilustrasi umat Islam. Buya Hamka mengkritik tajam kondisi umat Islam saat ini
Foto:

Masalahnya, sering kali seorang Muslim tidak merasa perlu memiliki keutamaan ruhani. Hidupnya sibuk dengan mengejar kepuasan nafsu belaka yang dipandangnya sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan. Menurut Buya Hamka, qana'ah atau bersikap sederhana adalah sumber kebahagiaan umat dahulu.

Ini adalah jalan tengah di antara dua titik ekstrem, yakni malas dan rakus. Keduanya melemahkan hati dan menjauhkan seseorang dari ketenteraman. Buya Hamka menegaskan, Islam membawa pengikutnya untuk mencari kesuksesan dalam hidup, maju tampil ke muka perjuangan.

Agama ini tidak menyukai perbedaan yang menyolok mata antara kaum berpunya dan kaum papa. Di sisi lain, Islam tidak memungkiri adanya keunggulan akal satu orang atau kaum daripada yang lain.

Di sinilah pentingnya peran orang-orang Muslim yang berilmu dan berkuasa. Sebab, ilmu dan kekuasaan adalah alat untuk mewujudkan keadilan. Orang yang berilmu dan berkuasa semestinya memiliki keutamaan ruhani.

Buya Hamka menulis tentang qanaah dalam Tasawuf Modern: Barang siapa yang telah beroleh rezeki dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi.

Tuan tidak dilarang mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan.

Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi menangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu adalah kalah dan menang. Jadi tuan bekerja bukan lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.

Buya Hamka kemudian mengajak pembacanya becermin pada sejarah umat Islam sendiri. Dalam zaman Khulafaur Rasyidin, keadilan sosial dipraktikkan semaksimal mungkin.

Contoh yang terkemuka adalah kepemimpinan Umar ibn Khattab. Kisah sang khalifah yang menemui dan menolong seorang janda yang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan menjadi abadi sepanjang masa.

Namun, setelah lewat masa mereka, tampuk kekuasaan ditentukan oleh garis keturunan, bukan lagi dialog atau demokrasi yang berdasarkan pada takwa, khususnya hablumminaallah. Demokrasi yang melupakan hablu minaallah cenderung pada melanggengkan kerusakan. Maka, lanjut Buya Hamka, muncul ketimpangan.

Kaum kaya semakin kaya. Kaum miskin betul-betul miskin sehingga terhadap dirinya sendiri pun tak lagi berdaulat. Rakyat melarat waktu itu hanya diobati dengan fatwa-fatwa atau orasi-orasi penguasa.

 

Orang yang berharta hanya mereka yang dekat lingkaran kekuasaan. Masyarakat Islam yang sudah bobrok itu akhirnya jatuh. Negeri-negeri Islam yang telah lemah jiwanya itu akhirnya dikuasai bangsa Barat yang lebih maju, tulis Buya Hamka.

Masalahnya..

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement