Selasa 09 Apr 2024 16:07 WIB

Persiapan Mualaf Tionghoa untuk Sambut Lebaran Idul Fitri

Mualaf pun ikut bersiap menyambut semarak Idul Fitri.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Mualaf. Ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Mualaf. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Di Indonesia terdapat cukup banyak umat Islam yang berasal dari etnis Tionghoa. Setelah menjelani ibadah puasa Ramadhan, mereka pun mulai bersiap untuk menyambut lebaran Idul Fitri 1445 H/2024 M.

Maria Leoni (36 tahun) merupakan salah seorang mualaf Tionghoa yang sedang bersiap untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Leoni tinggal di sebuah desa di Jepara, Jawa Tengah, dan menjalankan bisnis kain ikat dengan merek Kainratu bersama suaminya.

Baca Juga

Setelah menjadi seorang Kristen, Leoni kemudian masuk Islam ketika dia berusia 17 tahun setelah terpesona oleh masjid dan mendengarkan adzan.

“Saya senang mendengar adzan Maghrib. Saya sedang di depan televisi (menunggu adzan),” ujar dia dilansir Al Jazeera, Selasa (9/4/2024).

Orang tua Leoni meninggal saat ia duduk di bangku sekolah dasar, sehingga ia pun tinggal bersama keluarga mendiang ibunya. Namun, ketika Leoni mulai mengenakan jilbab dan menjadi mualaf, mereka menyuruhnya pergi dan dia pun tinggal di panti asuhan.

Leoni kemudian memperdalam pemahamannya tentang Islam dan pergi ke Arab Saudi untuk umrah pada 2019. Ibu tiga anak ini kini juga menjadi anggota Persatuan Muslim Tionghoa Indonesia.

Wanita berusia 36 tahun ini telah merayakan Ramadhan bersama keluarganya selama bertahun-tahun dan memandang makanan sebagai cara untuk menyatukan orang-orang.

Leoni senang memasak capcai sayur tumis khas Indonesia, sedangkan suaminya menyukai ayam goreng ala Jawa yang kaya dengan bumbu.

Dalam momen lebaran tahun ini, Leoni dan keluarganya pun akan mengunjungi rumah kerabat dan tetangganya.

“Saya bangga, meski saya minoritas. Bangga menjadi seorang Muslim, menjadi orang Tiongkok,” kata Leoni kepada Al Jazeera.

Mualaf Tiuonghoa lainnya, Sandra Insana Sari (28 tahun) juga sedang mempersiapkan diri untuk menyambut Lebaran tahun ini. Sandra merupakan seorang pembawa acara lepas dan moderator. Ia kini tinggal di Tangerang, Banten.

Ayah Sandra yang beretnis Tionghoa masuk Islam dari Konfusianisme setelah mengenal ibunya yang merupakan orang Sunda, salah satu etnis terbesar di Indonesia.

Dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, Sandra ingat pernah diejek secara rasis sebagai Tionghoa oleh teman-temannya – hingga ia mengatakan kepada orang-orang bahwa ia orang Sunda ketika mereka bertanya.

Namun seiring bertambahnya usia, mantan produser televisi nasional ini menyadari bahwa latar belakang campurannya sangat berguna.

“Membangun hubungan akan lebih mudah jika kita dilandasi oleh kesamaan,” ujarnya.

“Komunikasi akan lebih erat jika kita memiliki kesamaan,” ucapnya.

Leoni mengatakan bahwa keluarga besarnya yang merupakan etnis Tionghoa non-Muslim sering berbuka puasa bersamanya selama Ramadhan dan mengundangnya ke rumah mereka untuk merayakan Lebaran.

Tuan rumahnya akan menyajikan nastar dan makanan ringan lainnya. Saat berkunjung ke rumahnya, mereka juga menyiapkan hidangan halal untuknya.

“Saya diterima sebagai warga Tiongkok, saya diterima sebagai Muslim,” katanya.

Berbeda dengan dua mualaf Tionghoa di atas, Olivia 'Oliv' Javina (20 tahun) mendalami Islam hingga menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Ia awalnya tinggal di Surabaya. Pada 2015, lalu ia pindah ke Lasem di Jawa Tengah.

Oliv kini bekerja di bidang pemasaran digital untuk bisnis keluarganya di bidang kain batik tulis ala Lasem, yang dirintis oleh mendiang kakeknya, Sigit Witjaksono.

Sigit merupakan seorang tokoh Tionghoa Indonesia yang masuk Islam dari Konfusianisme pada 2018. Sigit meninggal tiga tahun kemudian.

Lasem dikenal dengan sebutan “Kota Santri”. Di kota inilah Oliv menjadi seorang santri. Sebelum berbuka puasa, Oliv sering membuka YouTube untuk mendengarkan pengajian. Dia kemudian berbagi takjil  seperti lemper dengan kerabatnya yang non-Muslim.

Lasem juga disebut “Tiongkok Kecil”, karena diyakini sebagai salah satu tempat pertama kali migran Tiongkok tiba di Pulau Jawa. Menjelang Lebaran, Oliv dan keluarga besarnya – sebagian beragama Katolik dan sebagian beragama Konghucu – akan berkumpul di Lasem.

“Yang paling saya banggakan (di Lasem) adalah toleransinya,” ucapnya.

 

sumber : Al Jazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement