REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Ribuan calon jamaah haji asal Kabupaten dan Kota Bogor dipastikan batal berangkat pada 2026. Ini setelah pemerintah menerapkan skema baru pembagian kuota nasional yang menyebabkan Jawa Barat mengalami pengurangan signifikan.
Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPP Forum Komunikasi KBIHU (FK KBIHU) Dr Desi Hasbiyah di Cibinong, Bogor, Kamis (20/11/2025), menyebut perubahan skema kuota memukul psikologis ribuan jamaah yang sudah menunggu belasan tahun dan semula melihat jadwal keberangkatan mereka tercantum di aplikasi Satu Haji.
“Banyak jamaah yang awalnya sudah siap berangkat tahun depan harus menerima kenyataan ditunda. Ini menciptakan tekanan emosional yang cukup berat,” ujarnya.
Kebijakan tersebut mengacu pada Pasal 13 ayat 2b UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan kuota berdasarkan proporsi daftar tunggu antardaerah, bukan lagi proporsi jumlah penduduk Muslim.
Dalam skema baru itu, kuota provinsi Jawa Barat turun dari 38.723 menjadi 29.643. Dampaknya dirasakan Kabupaten Bogor yang kini hanya memperoleh 1.598 kuota dari sebelumnya 3.189, serta Kota Bogor yang turun dari 929 menjadi 603 jamaah.
Desi menjelaskan penundaan mendadak tersebut memicu kecemasan dan stres pada sebagian jamaah, terutama mereka yang lanjut usia atau memiliki kondisi kesehatan tertentu.
“Pertanyaan yang paling sering muncul adalah apakah mereka masih sempat berhaji di usia mereka sekarang. Itu menjadi kecemasan utama,” kata Desi yang juga merupakan dosen Ibn Khaldun.
Menurutnya, perubahan kebijakan dapat dipahami sebagai upaya pemerintah mendekatkan asas keadilan antardaerah. Namun proses adaptasinya tidak dapat berlangsung cepat karena menyangkut harapan religius masyarakat.
“Skema ini memang dimaksudkan untuk keadilan, tetapi dari sisi sosial, ada kejutan besar yang harus ditangani dengan baik,” ucap Desi.
Ia menegaskan FK KBIHU melihat masalah utama bukan hanya pada kuota, tetapi pada kondisi psikologis jamaah yang tertekan akibat penundaan tersebut.
“Kami memandang perlunya perhatian serius pada kondisi batin jemaah. Mereka tidak boleh dibiarkan menghadapi ketidakpastian sendirian,” ujarnya.
Karena itu, ia meminta pembimbing ibadah haji dan tokoh masyarakat melakukan pendampingan intensif agar jemaah dapat bangkit dari tekanan emosional dan tetap tenang menunggu giliran keberangkatan.
“Pembimbing harus hadir memberi penjelasan teologis, menguatkan konsep istitha’ah, pahala niat, serta kesabaran dalam menghadapi takdir. Ini penting untuk menjaga ketenangan mereka,” kata Desi.
Ia menambahkan bahwa masa penundaan seharusnya dimanfaatkan untuk memperbaiki persiapan ibadah, kesehatan, dan manasik sehingga jemaah akan lebih siap saat akhirnya diberangkatkan.




