REPUBLIKA.CO.ID, KASHMIR -- Pihak berwenang India melarang protes solidaritas apa pun di Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim. Warga dan pemimpin agama mengatakan para pengkhutbah diminta tidak menyebutkan konflik dalam khutbah mereka.
Dilansir di Qantara, Selasa (28/11/2023), pembatasan tersebut merupakan bagian dari upaya India mengekang segala bentuk protes yang dapat berubah menjadi tuntutan untuk mengakhiri kekuasaan New Delhi di wilayah yang disengketakan. Hal ini juga mencerminkan pergeseran kebijakan luar negeri India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi yang populis.
India menjauh dari dukungan lamanya terhadap Palestina. India telah lama berada dalam ketegangan antara pihak-pihak yang bertikai, dan secara historis memiliki hubungan dekat dengan kedua pihak. India mengutuk keras serangan Hamas pada 7 Oktober dan menyatakan solidaritasnya dengan Israel.
Namun, India mendesak agar hukum kemanusiaan internasional ditegakkan di Gaza di tengah meningkatnya kematian warga sipil. Di Kashmir, berdiam diri adalah hal yang menyakitkan bagi banyak orang.
“Dari sudut pandang Muslim, Palestina sangat kami sayangi, dan pada dasarnya kami harus bersuara melawan penindasan di sana. Namun kami terpaksa diam,” kata Mirwaiz Umar Farooq, seorang pemimpin penting perlawanan dan seorang ulama Muslim.
Dia mengatakan dia menjadi tahanan rumah setiap Jumat sejak awal genosida Israel untuk mencegahnya memimpin sholat Jumat di masjid utama di wilayah tersebut. Sentimen anti-India tertanam kuat di wilayah Himalaya yang terbagi antara India dan Pakistan dan diklaim oleh keduanya secara keseluruhan.
Pada 2019, New Delhi menghapus sistem semi-otonomi di wilayah tersebut dan secara drastis mengekang segala bentuk perbedaan pendapat, kebebasan sipil, dan kebebasan media. Warga Kashmir telah lama menunjukkan solidaritas yang kuat terhadap Palestina dan sering melancarkan protes besar-besaran anti-Israel selama pertempuran sebelumnya di Gaza.
Protes tersebut seringkali berubah menjadi bentrokan jalanan, yang menuntut diakhirinya kekuasaan India dan memakan puluhan korban jiwa. Perdana Menteri India Narendra Modi, seorang nasionalis Hindu yang setia, adalah salah satu pemimpin global pertama yang dengan cepat menyatakan solidaritasnya dengan Israel.
Modi menyebut serangan Hamas sebagai terorisme. Namun, pada 12 Oktober, Kementerian Luar Negeri India mengeluarkan pernyataan yang menegaskan kembali posisi New Delhi dalam mendukung pembentukan negara Palestina yang berdaulat, merdeka dan layak, hidup dalam perbatasan yang aman dan diakui, berdampingan dalam perdamaian dengan Israel.
Dua pekan kemudian, India abstain dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza, yang berbeda dari rekor pemungutan suara biasanya.